Tampilkan postingan dengan label IMAJI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IMAJI. Tampilkan semua postingan
ROMANSA NEGRI AWAN
Untuk
ke-lima kali, pundak sopir di tepuknya. Dengan demikian, nafas panjang-menekan
saling berbalasan antara sopir dan Inor. Hampir 15 menit angkot yang kami naiki
memakukan diri. Menunggu Tuhan mengisi tangki-tangki rezeki bagi sang sopir.
Inor paham betul. Tapi jika didalamnya sudah berjejal segala bebauan dan
orang-orang dipadatkan bagai gundu dalam botol, namanya keterlaluan.
“Nunggu
1 orang lagi neng”.
Inor
naik pitam. Hangat mentari sudah sesuam kuku, tertanda hampir jam 7. Dan ini
bisa merusak intensi proyek Negri Awan yang di tekuninya 5 bulan terakhir.
Yakni proyek pencarian makna integritas dengan mencicipi kemiskinan, tentang
pengabdian layaknya Bunda Teressa, Lady Diana, atau seperti Elleanor Roosevelt
(ibu negara pujaan mamaknya) sesuai namanya, Elleanor Prasetyo. Entah kenapa
dinamakan proyek Negri Awan. Barangkali karena awan begitu bebas, menjulang
tinggi dan tampak berderajat dengan kehampaannya : seperti kemiskinan.
Kali
ke-enam; tepukan keras mendarat tepat di belakang kursi kemudi, maka dengan
terpaksa angkot beranjak juga.
Inor
terbiasa berangkat pukul 6 pagi. Tentu tak ada hubungannya dengan jam kerja
sebagai penulis lepas. Yang biasa dikejarnya adalah jam perubahan tarif busway:
lewat pukul 7, tarif bukan lagi dua ribu. Sialnya, aku terpaksa ikut kali ini. Huh.
Begitulah Inor si gadis elok budi dan rupa ; unkonvensional. Dalam bahasa
sederhana, kuterjemahkan aneh, unik, bisa juga udik.
Riangnya
menjejak saat memasuki kotak besi yang merajai jalanan dengan grey carpet
berbulu debu dan asap. Aku sedikit kikuk, meski sudah dua kali Inor mengajakku
menikmati busway.
“Masih
sempat kalau mau menyerah, Pak Naryan”.
Kukenal
senyum manis cibirannya. Inor meleos dan
duduk jauh dariku di kursi paling pojok. Yeah, tak butuh waktu lama menuju
Terminal Kampung Rambutan. Cukup menyaksikan tingkah Inor selama perjalanan
saja bisa menyenangkan.
Jika
mayoritas penumpang ber-browsing atau bermusik ria dengan handphonenya, Inor
memilih sibuk main origami dengan karcis buswaynya; membuat baju kertas,
burung, perahu atau apa saja. Inor suka buku ketimbang ipad. Suka perpus
ketimbang outlet. Dan dengan seringai lebar –persis anak TK- selalu berjalan bangga
mengibaskan rambut ekor kuda. Terakhir kali dia mengajakku naik busway ,
seketika itu dia lilitkan sebundel skenario dilapisi syal tebal di perutnya di
balik jaket. Orang yang mengiranya hamil, tanpa pikir lagi akan memberinya
kursi, yang lantas tanpa pikir juga langsung diberikannya pada sepuh berjenggot
putih…….
Sampai
di Rambutan, sembari menunggu bus tujuan Sukabumi, sedikit kuungkit
perlakuannya pada sopir tadi, yang menurutku sedikit keterlaluan.
“Pak,
aku memang sedang belajar hidup sederhana. Tapi bukan berarti harus cari musuh
karena uang seribu-dua ribu. Kalau supir tadi nambah 1 orang lagi di ambang
pintu, di tikungan tajam akan berubah jadi ambang kematian”, jawabnya bijak.
Berakhir
perdebatan, dimulai juga perjalanan kami. Di sukabumi, ada desa kecil dimana
Inor mendirikan sekolah terbuka bagi anak-anak desa. Negeri awan pula namanya.
Inor mengajar disana sekaligus belajar ketulusan dari mereka. Katanya, hari ini
mereka akan melakukan kegiatan Meracik Bumbu Dewata (nama aneh lagi). Untuk itu
aku memaksa ikut, selain ada hal lain yang akan kulakukan disana.
******
Saat
itu aku galau, proyek FTV kali ini terancam gagal tayang. Sementara hutang
sebelumnya belum terbayar. Saat itu Inor sontak duduk di sebelahku, menunjukkan
kotak kayu sebesar empedu berhias kolase biji kapri kering berwarna merah
kesumba. Kubuka.
“Permen
penyemangat”, layaknya Doraemon melantangkan barang ajaibnya, begitulah Inor
mengubah suaranya.
“Makan
permennya pak, biar semangat!”, rayu Inor. Terbukti. Lidah optimisme membakar
cemasku.
Inor
rekan kerja yang hebat. Dia menulis banyak untuk film-filmku. Sederhana, tanpa
klise. Dikisahkannya, duka anak gundik, atau
tentang renta meraih gelar sarjana tua. Dan keanehan-keanehan itulah yang membuatku
terpikat.
Bulan
berikutnya, kami sering memasak bersama. Judul ritualnya Oseng Ceria. Disitu Inor
pandai membuat filosofi dari masakannya.
“Butiran
jagung kehidupan, bertabur manisnya gula kebahagiaan, asinnya pengalaman
berpadu parutan serat kelapa penuh tantangan adalah makna hidup sejati”, begitu
filosofinya tentang grontol.
Lain
hari, dia bisa membuatkan kostum dari karung dan tutup botol , spontan! Saat
sutradara minta pakaian unik untuk tokoh utama. Juga malamnya, dibuatkannya
boneka daun singkong demi artis cilik yang merengek minta pulang. Inor. Inor.
Sayang,
semua itu meruap jadi kenangan yang tak bisa kulihat lagi sepeninggal ayahnya.
Mulailah Inor menjalankan proyek Negri Awan dan sekolahnya. Rumah Inor dipenuhi
anak panti. Tak ada lagi Elleanor glamour berbalut gaun memikat. Riasan di
wajahnya hanya senyum –dan sungguh bagiku itu lebih elok daripada rubby yang
menghiasinya dulu- Inor mengabdikasi dalam kubangan lumpur sambil lantang
mengajar “Ini Ibu Budi” dan seterusnya.
Kepindahannya
pun membuatku tercekat rindu. Meski tiap akhir pekan Inor datang; mengajakku
mencari buku, membeli barang bekas namun bermutu tuk anak didiknya. Aku juga
sering dibuat cemburu saat tahu dia merajuk banyak pria ahli melukis, basket,
bermusik untuk datang mengajar sesekali. Inor. Inor.
*******
Tanah
lembap, habis diludahi awan. Kanan kiri ada hijau berpucuk kuning menggelarkan
diri. Anginnya bau terasi. Inor memapahku.
Di
antara beriak danau, sebuah dangau bambu tampak ramai. Disitulah anak-anak
Negri Awan berserak disana-sini, kemudian riang menyambut kami.
Rupanya
Meracik Bumbu Dewata , hanyalah acara masak di alam terbuka. Lauknya hasil si
Buyung berkecipak-kecipuk dengan sampan. Dedaunan hijau adalah petikan
murid-murid perempuan, termasuk beberapa umbi hasil curian dari kebun juragan
terkikir sekampung.
Tujuh
meter ke depan, kulihat bangunan warna-warni, didalamnya ada beberapa kursi dan
papan dari potongan kayu tanpa amplas,
teduh atapnya bersarung sabut, sebuah kelas.
“Dulu
itu kandang sapi. Sekarang namanya Olympus”, bangga Inor.
Kubayangkan
Zeus akan memberinya awan emas dan meminangnya kalau tahu ini. Hahaha.
Aku
mendekat! Tepat di samping Inor yang sibuk mengadon surabi. Secuil jari mungil
penuh adonan setengah matang disodorkan ke mulut seorang Naryan.
“Mau
coba, pak?”. Polos. Kulumat penuh rasa meski Inor tak merasa.
“Seperti
surabi dengan bagian atas dan keraknya, begitu pula manusia dengan baik buruknya.
Maka jadilah seperti surabi, yang mengendapkan keburukan jauh di bawah dan
dipenuhi putih kebaikan yang lembut”. Kusemai memori lama.
“Filosofi
Surabi. Masih ingat?”
“Tak
ada kata-katamu yang kulupa. Satu pun!”, tegasku.
Inor
senyum tipis. Kembali asyik mengadon-cetak surabi. Menaburi pisang, mete,
coklat, keju dan renda-renda mimpi. Surabi itu adalah bayam bagi popeye, adalah
telur tuk Ade Ray, adalah madu bagi anak-anak Negri Awan. Ialah racun bagi
Naryan.
“Carilah
wanita yang baik, pak”, sarannya.
“Kau
mengorbankanku demi sebuah pengorbanan”
“Ini
bukan pengorbanan, pak!”
Yah,
aku tahu! Menurut Inor pengorbanan hanyalah melahirkan permintaan yang lebih
besar. Dia tidak melakukannya disini. Disini dia mencari ketulusan. Sesuatu
yang hampir dicampakannya. Di masa lampau, waktunya habis menjaring mimpi dan
harta; lantas melupakan sahabatnya yang tulus mengajaknya tertawa; mamak
bapaknya yang tulus mengkhawatirkannya. Dengan begitu, kini Inor mengorbankan
harta untuk mereka.
“Ada
dua hal dimana kau bisa melihat ketulusan; kemiskinan dan anak-anak”, jelasnya
dulu.
Inor
beranjak, “Alat beli Cinta sejati adalah ketulusan. Aku belum punya. Jadi biar
kupelajari dulu itu sebelum kau memberiku cinta, pak”. Dia memang Filsuf
sejati.
Inor
meninggalkanku menghampiri anak-anak Negri Awan. Tampak ia memasak penuh tawa.
Sembari bolak-balik mengajar bocah yang tak sabar memainkan tuts piano. Sayang,
jari tangannya kadung tercelup-penuh oleh adonan. Tak bisa diapa-apakan!
Termasuk jika kusematkan cincin pernikahan.
Aroma
rerempah dan kerat daging ikan saling mengikat janji, menawarkan angin menabur
lapar di tiap sudut Negri Awan. Pun pada lubang hidung si perut-perut
keroncongan. TULUS angin berhembus………..
Jakarta,
22 Mei 2011
KISAH DI ATAS RANJANG
Cicak mati itu hanyut dalam baskom penadah hujan. Ekornya masih
menggeleparkan tari. Kesenengan barangkali, berpikir dia mati terhormat,
sebab semut tak bisa menyantap bangkainya. Ya, yaa. Setipe dengan si
cicak. Aku terlalu pemilih mencari tempat mati pada kisah ini.
Setidaknya tidak di dalam tanah! Meski sehelai kafan –hanya sehelai-
mengemas ragaku rapat-rapat. Meski kau beri aku kurungan kayu segi
empat, dengan dandanan ningrat. Meski kau sisipkan tokalev atau semasa
hidup aku rajin shalat. Mereka akan tetap menggerogotiku disana; lipan,
kelabang dan ULAR. Uweeekk.
“Pokoknya tidak ada penguburan dalam kisah ini!”
“Saat kau mati betulan, kau juga dikubur, sayang”, gertak lembut Mahfan.
“Saat itu, karena mati betulan, aku tak kan peduli. Tapi aku masih hidup untuk kisah ini. Tak kubiarkan kau perpanjang lagi cerita kematian Nek Fatma. Aku tahu kau, sayang. Kau akan buka tema baru lagi tentang duniaku.... eh maksudku dunia Nek Fatma di pekuburan. Bersama ular-ular!!”, jengah akhirku di hadapan Mahfan.
Lekat mata Mahfan menekan batinku sekian menit, “ Benar-benar istri teladan. Baru selintas aku memikirkannya. Kau sudah tahu. Jadi, tak mau?”
“Kisah ini bisa tak selesai, sayang!”,
Ketimbang berdebat kuusulkan saja sebuah pembalseman. Seperti Lenin atau yang diniatkan Peron pada istrinya Evita: tentang sebuah monumen. Kutunggu. Geleng kepalanya. Gemeletuk gigi kuning Mahfan beradu lagi dengan bunyi decit rotan ranjang kami. Kembali aku terpekur, gigit ujung bantal mencari ilham demi kisah yang ingin dia buat. Kucoba rayapi tiap sel saraf otakku dengan imagie. Uhm,euh,cck,uhm,euh. Buntu!
Kontradiktif dengan hujan di luar sana yang terus mengalir. Suamku pun begitu. Ketombenya semakin berjatuhan tiap kali dia menggaruk kepala dan berpikir. Kulihat remang tulisan “Kisah di Atas Ranjang” di laptop terpantul pada lensa mata Mahfan . Inilah judul karangan panjang suamiku. Berkisah seorang renta yang gigih menaklukkan Izroil di atas ranjang, mengulur waktu kematian demi penantian kedatangan cucunya.
Tak lama –tepat saat matanya semakin bundar bersemangat- kisahnya semakin padat oleh kata. Empat, lima, enam kalimat muncul per dua-tiga menit saat Mahfan beradu dengan keyboardnya. Seolah laptop 10 inc adalah ruang tanpa batas.
Begitulah 100 hari ke belakang, kami menghabiskan malam. Sebagai asisten penulis, aku mengabdi; menjerang kopi, goreng ubi, bermain tangkap nyamuk dengan sepiring ceper berlumur jelantah. Kuulangi. Hanya sebagai asisten. Bukan istri!! Tahta itu raib begitu saja sejak Mahfan berhasil membunuh birahi ke-istrianku , telak! di malam yang sama saat penjelmaanku sebagai nek Fatma (tokoh yang diadaptasi sesuai nama dan karakterku) dimulai.
Kini, sementara Mahfan tengah asyik merangkai scrabble dengan 27 alfabetnya, mari kita abaikan sejenak. Biar kusingkap kisah awal terlahirnya kisah di atas ranjang.
********
Setelah 9 hari men-toyib-kan diri, akhirnya Mahfan pulang. Herannya, begitu penuh cita, lain saat kepergiannya, murung tak berselera. Dikecupnya kerut wajahku, menekan tiap lekuk. Kupikir dia merindu. Sayang, bisikannya mewartakan aku salah.
“Aku dipecat, sayang. Jangan cemas. Aku masih bisa menghidupimu dan anak kita. Tapi aku ingin menulis!”, bisiknya tegas.
Mahfan seorang angkatan. Dia benci khayal mendayu-dayu. Pun dongeng indahnya mimpi, atau lezatnya rumah kue. Pernah suatu kali aku mengajaknya berkhayal, tentang batu ali biru miliknya adalah saphire adalah serupa cincin lady diana, pasal dia menampik, lantas menyodorkan 30 amplop bulanan masing-masing berisi 50.000. Jatah hidup dari Tuhan untuk kami. Nyata! Atau ketika ludahnya semburat di depan anak kami, menghujatnya karena kebanyakan membaca novel.
“Ngayal tu cuman nambah orang gila di dunia!!”, lantangnya kala itu.
Maka dari itu, aku sangsi, seorang realist ingin jadi penulis. “Apa yang terjadi?”
Mahfan berbisik lagi. Penuh gugup, meronta-sesal. Kali ini bisikannya adalah pancanaka Bima –kuku sakti Maha Tajam- menembus ulu hati, mengoyak jantung. Bisikan yang tadi kubilang; membunuh birahi ke-istrianku. Seorang wanita jalang menanamkan bakteri Treponema Pallidum lewat perzinahannya. Kejantanan Mahfan digerogot sifillis!! Sialnya, ia tahu, aku pasti luluh dengan kenelangsaannya. Tak lagi kupikirkan pengkhianatannya. Justru kekhawatiran tertuju pada Rikza, anak kami. Betapa terluka jika kukatakan kenyataan.
Anakku terlalu cerdas untuk sepantarnya. Di umur 6 tahun, planet dengan semua satelitnya bagai dongeng Cinderella baginya. Sahih pula ensiklopedi mini dikuasainya. Kendati dia tak paham tentang sifillis, google akan memaparkan padanya. Otot penyanggaku lemas, nanar kupandangi Mahfan.
“Itulah sayang, kenapa aku ingin menulis. Sama sekali aku tak takut jadi pengangguran, aku bisa jualan. Bahkan aku,, euh.. aku tak takut kehilanganmu. Tapi, oh Fatma. Betapa gilanya aku jika membayangkan Rikza ,menatapku jijik. Meninggalkanku! Tidak fatma. Harus kuhasut dia dengan dongeng kemanusiaan. Mengasihaniku saat kau beberkan kebenaran”, meracaulah Mahfan semalaman.
Entah setan atau Jibril yang menghasutnya. Hiperbolis. Tapi ia benar.
Demikianlah setelahnya, kisah di atas ranjang hadir sebagai ritual bercinta kami di malam hari.
“Di bawah rembulan yang membias panjang, teronggok di atas ranjang berlapis kuningan berkarat. Semakin tampak keriput nek Fatma dipenuhi pesona kecantikan alami. Kendur, melar, namun penuh cinta dan penantian”, kalimat pembuka karangan si penulis
Cukup mengagetkan Mahfan bisa berpujangga. Alkisah, setelah kalimat itu ada, secara ajaib alur-alur bermunculan. Merakit karya dan obsesinya. Sekaligus duka kisahku. Sejak itu, kubiarkan –tuk kesekian kali- dia berselingkuh, bersama Nek Fatma dalam kisah haru.
********
Gatal-gatal dan Osteosarcoma di lengan dan kakinya bak meruap, kala foto Fakhri cucunya, menjadi siluet satu-satunya yang tertangkap retina nek Fatma. Direkahkan senyum remaja 17 tahunan semanis mungkin. Setidaknya sebagai obat rindu. Kelopak kusut memberendel mata beningnya, agar tak ada lagi banjir pilu. Di dalam ruang hitam penglihatannya, hanya disitu dia bisa menemukan bayang Fakhir , yang jelas tidak akan pernah muncul di balik kusen jendela kamar tua, selain Izroil.
Ini hari ke-10 Izroil sang malaikat maut berkunjung ke kamarnya. Tentu saja, bukan sebuah jengukan, yang bahkan jarang didapatkan nek Fatma dari manusia. Taruhan, hanya yang betul-betul berhati emas mau melakukannya.Bagaimana tidak? Di kotak dinding 5 x 6 itu, hegemoni raja laba-laba dan ratu lebah begitu kental. Kutebak aroma pesing, tinja, dan campuran muntahan mengawinkan tiap sel mereka sehingga melahirkan keturunan bebauan paling durjana. Namun bukan ini alasan Izroil urung membawanya ke surga sepuluh hari lalu, sembilan atau delapan hari silam sampai kemarin. Melainkan ada hadiah dari Tuhan akan penantiannya. Toleransi hidup 10 hari, dan hari ini, batas waktunya! Teng, teng, teng. Expired!
“Fakhri ndak bakalan teko’! iki Gusti Alloh wes ndak iso ngenteni meneh”,lirih nek Fatma berbisik pada anak-anak pinggir kali. Tiga-tiganya orang yang kubilang tadi, berhati emas. Sesekali tiap minggu, kepala mereka mengintip lewat kusen jendela, memberi obat harian dari kepala dusun atau roti.
Seperti itulah , 5 tahun nek Fatma menjalani hidupnya bersama kusta-kusta. Terkerangkeng oleh kanker tulangnya di atas ranjang. Fakhri, si perantau sejak 10 tahun silam, cucunya itu, tak mungkin lagi akan pulang. Apa kepincut gadis kota atau ususnya sudah terburai cabikan gigi tajam hiu lapar di laut sana, entahlah! Jangan paksa aku panjang lebar mengurai kisahnya. Intinya, Fakhri tak ada di hari akhir nek Fatma. Beruntung sebagai pengganti, Tuhan mengirimkan pasukan lain.
Orkes sederhana suling dimainkan anak-anak pinggir kali. Isak mereka nyaring, berkolaborasi garukan di pantat kanan kiri. Ini dia orkes sedu, penghantar kematian nek Fatma. Sementara si renta Fatma, di ruang hitam dalam pejamannya, berletup-letup memotivasi Izroil agar cepat mencabut nyawanya. Tampaknya nek Fatma terlalu pedih, sadar atas kesia-siaanya selama ini, bermimpi Fakhri akan memindahkannya dari ranjang jahanam. Terbebas dari tumila, kutu atau ulat yang lahir dari rahim kustanya. Maka dengan kesadaran itu, Kisah di atas ranjang nek Fatma sampai pada titik akhir. Mulai saat ini, kisah nek Fatma berubah dengan judul “Kisah di surga bersama Tuhan”.
********
Mahfan membacakan syahdu, “Itu akhir kisahnya, sayang”
“Suka kan? Tidak ada kuburan dan ular”, didekapnya aku dlam rangkulan hangat.
Berdua kami menatap mesin ajaib. Penglihatanku bergulat dengan gumpalan kata-kata di laptop. Benar, halaman akhir untuk kisah panjang selama 3 bulan ini bisa kulihat juga. Tanpa ular! Mahfan mengecup keningku, lamaaa. Sumringah bibirku, meski tak kan tersuguh kisah berbumbu pagutan nafsu antara adam dan hawa sesuai dengan judul “Ranjang” menurut espektasimu. Kuakui, Kisah itu dulu ada, tapi tidak untuk seterusnya.
Tanpa perintah, aku langsung diam melihat Mahfan meloncat turun dari ranjang. Kegirangan Mahfan di antara lembaran kertas putih yang dimuntahkan printer millennium selanjutnya kerap membuatnya lupa akan kehadiranku. Malah, dia sibuk berkaca, mendeham lalu pergi menuju sebuah kamar paling ujung. Melewati pintu yang bagiku, nantinya adalah gerbang pembatas antara kami.
Di balik pintu, kau akan memasuki sebuah wahana ceria, Intelek dan tersaji mainan dalam segala rupa. Obama, Harry potter, Sherlock holmes adalah tampang penghuni dinding yang ramah. Semua sempurna, kecuali bau sepatu yang mampu menusuk hidung hingga akar bulu paling dalam. Deskripsi yang baik untuk kamar anakku. Rikza. Lelap dia menikmati dengkur di balik selimut abu-abu tua.
Mahfan membangunkan semangat, ditunjukkannya bundelan kertas itu tepat di hidung Rikza. Berselingan antara sepat mata kantuknya, Rikza hadirkan senyum paling berharga bagi Mahfan.
“Dongeng buatan ayah selesai?!”
“Iya nak, siap dengar? ”, Mahfan mulai bercerita. Melontarkan kalimat- kalimat yang aku tahu sebenarnya adalah keluhnya, yang diungkapkan lewat tokoh seorang aku, nek Fatma.
Kerut alis terpampang di wajah anakku. Dua menit kemudian tawanya lebar atau melongo bego berubah-ubah sesuai alur kisah ayahnya. Mahfan, tak berhenti cerita malam itu, meski sudah lewat 20 halaman. Keringatnya meresap dalam lidah, juga membasahi punggung besar yang begitu kukagumi.
Dengan itu, dimulailah Kisah di atas Ranjang baru, tentang seorang ayah yang mati-matian menciptakan kisah untuk didongengkan di atas ranjang bersama anak semata wayangnya. Bagi Mahfan, inilah media terbaik menanamkan filosof hidup pada anaknya. Mendoktrin Rikza pada setiap kebajikan dan tentu; memapah anaknya agar iba akan kisah ini. Agar kelak, saat Mafan teronggok dia atas ranjang persis nek Fatma. Rikza tak seperti Fakhri. Setidaknya Mahfan bisa jadi Ayub abad 20 yang ditemani anak dan istri.
Inilah Kisah di atas Ranjang sesungguhnya ingin kutulis sedari awal, yang membuahkan kisah-kisah lain di atas ranjang. Bukan kisah ‘panas’, kisah yang sering dibuat penulis lain tentang ranjang, dan sialnya, berhasil mengurung pembaca dalam kotak paradigma : ranjang sebagai symbol amoral. Nyatanya, banyak cinta bertaburan di atas ranjang. Dongeng Orangtua untuk anaknya. Pergulatan manja kaka beradik. Curhatan sahabat di atas bantal. Semua bisa dimulai disini.
Redup cahaya mulai membayang pada kantukku di kamar lain. Kupasrahkan tubuhku di ranjang seperti anggur pada cawannya. Mencari penopang bagi kisah piluku. Di kamar ini, aku punya kisah sendiri dengan ranjangku. Kisah istri dengan ranjang sebagai kuburan pernikahan dan birahinya. Sekali lagi, persis seperti bangkai cicak dalam baskom penadah hujan. Aku Fatmawati, si mayat hidup, terjerembap di atas ranjang. Yah, setidaknya aku senang tak ada ular dalam pekuburan ini.
Dalam ruang yang sepi, 22 mei 2011
Lumina Diass
DONGENG PETRA
Kerlip bintang terpaksa mengalah pada hujan. Persislah aku terkurung
dalam gelas berembun. Kalau cuaca buruk, kamar dengan jendela raksasa
dan atap kaca bukanlah pilihan tepat. Blitz dewata akan jelas terlihat.
Dan aku benci petir!!
Annora membawakan sebuket bunga segar. Tumben. Tahukah dia sohibnya tengah berduka? Salah. Mekaran warna-warni ini memang buatku. Dari Pandira! Ah, ini mengejutkan. Bukan kali pertama . Tiap sabtu malam Annora tahu betul aku selalu mendekap bebawaan saat pulang; sekerat pizza,bermacam sandang atau sekedar coklat almond yang kubilang dari Pandira. Tapi yang ini… bunga??
“Kalian marahan? Sampai suruh orang lain yang antar?”, selidik Annora sembari buang lelah dengan menyeruput teh rosella hangat yang baru saja kubuat. Kecut.
Rupanya mbo ‘Jah -peri rumah kesayangan Pandira; renta pikun,bersuara sopran serak basah, mantan premanita tapi berhati lembut melebihi sutra- yang mengantarnya ke kantor. Beruntung annora –satu-satunya orang yang tahu hubunganku dengan Pandira-dengan mantap mewakiliku terima kiriman tadi siang.
“Mas Pandira nekat juga kirim ke kantor? Mana simboknya tadi salah
sebuat nama lho. Petri katanya.haha. Bisa dikira buat si Putri Fitri
kan?”.
Awalnya aku bukan penggiat dunia maya; Ada Annora si pembaca berita
terkini. Pun setumpuk koran yang diantar tiap pagi. Sayang di koran,
tak ada info ter-update tentang Pandira. Sementara dengan situs ini, dua
per tiga menit, muncul sekelompok kata baru di layar kaca. Apa saja.
Paragraf pertama berkisah Pandira di kedai bersama sahabat lama,
berlanjut dengan sesajiannya, obrolannya, lawakannya, jengahnya, adalah
sadapan nikmat untukku.
Sebelum jadi kekasihnya, aku hanya bertemu 3 kali dengannya.
Tanpa
bersua pula. Dia pengusaha kayu pemasok terbesar perusahaan mebel
tempatku bekerja. Beberapa kali dia ke kantor, disitu kami bertemu.
Selanjutnya, sebagai finance manager , meski bisa bicara via telepon,
tak lebih sekedar konfirmasi barang atau pembayaran. Pandira juga
tipikal pria tanpa banyak cakap dalam keseharian. Mungkin itu juga
alasan kenapa banyak hal dia utarakan di dunia maya ciptaannya. Jadi
hanya ini cara paling ampuh mengenalnya. Berawal dari rasa penasaran,
aku mulai menyelidik, bertambah hari, semakin cupid mengincar perlahan,
lalu dengan pasti menghujamkan panahnya tepat di ulu hati.
Tapi malam ini tulisan-tulisan Pandira membuatku resah. Dan bayangan
tadi siang tak mudah begitu saja dilupakan. Tak mungkin salah.
Aku
kenal betul siluet tubuh keduanya. Pandira digandeng wanita melewati
barisan lalu lalang para pengunjung yang sibuk menenteng belanjaan,
mengejar diskon, atau sekedar ngadem menikmati AC Mall besar.
******
“Aku… sebenarnya udah punya pacar kok!!”
“Siapa Pet? Kapan?!”. Aku gigit bibir. Ragu.
“Ehm.. Mas Pandira?!”, selidiknya lagi. “Sory, aku sering perhatiin kamu. Sempet kepergok juga kalau tiap hari; pagi-siang-malam, kayaknya kamu cuman ngecek akun-akun dunia mayanya mas Pandira. Apa iya???!”, lanjutnya.
Maka seketika setan berbisik, mengajak bibirku berkisah. “Tolong jangan bilang siapa-siapa ya Nor. Takut ketahuan Pak Hasin”
Pak Hasin, bos kami, dulu sama-sama bergiat dengan Pandira sebagai pengrajin kayu. Beliau guru bagi Pandira. Jadi Annora mesti paham, ini berhubungan dengan nasib karirku. Selain, karena Pak Hasin punya kaul menarik Pandira sebagai mantu. Demi keberlangsungan hidup bersama, sementara backstreet adalah jalan terbaik.
Sejak malam itu dan malam seterusnya. Annora dengan mata berbinar tekun
mendengar dongeng cintaku. Semangat pula dia membantuku memilih
kado ultah buat Pandira. Menungguiku sampai malam sepulang kencan
sekedar tuk membukakan pintu. Di hari lain, kami menghabiskan tisu
bersama merutuki ulah bodoh kekasih masing-masing. Bagitu pedulinya
Annora, walau kadang ulah mak comblangnya sesekali membuat jengkel.
********
“Petra!!” , suara orang menggedok pintu. Dokdokkreot.
Kali ini pintu
kamar inapku di losmen. Annora memanggil untuk kumpul makan siang.
Sekantor kami berlibur dua hari di Pulau Tidung. Warna laut sedikit
sendu. Biru pekat tanpa gelombang, rasanya tidak menampakkan
kebahagiaan bagi penglihatnya. Hanya ikan dalam kolam bening raksasa
ini yang berkecipak-kecipuk riang. Bau ikan asap merebak dari kerumunan
manusia-manusia pekerja yang menghirup kebebasan. Riuh mereka
melambai. Menyuruhku dan Annora menyegerakan langkah.
Sebetulnya, mungkin akan lebih baik tak perlulah aku ikut kesini.
Sebab, selain anggota keluarga Pak Hasin, Pandira menjadi salah satu
nama yang tertera dalam tamu undangan. Sungguh, tak ada yang menandingi
kecerianku mengetahuinya ada disini.
Namun, seandainya saja dia datang
sebagai kekasihku yang terakui, hawa disini tak jadi suram. Tapi,
disini, di depan Pak Hasin, dia adalah pria idaman sang putri. Menantu
idola harapannya. Terbukti, dia disini penuh tawa diantara keluarga
besar Sang Raja.
“Sepiring ikan asap terhidang untuk Ketua dan Wakil Panitia tercinta”,
canda beberapa rekan kerja kami menyuguhi makan siang hangat untukku
dan Annora.
Pandira tepat duduk di hadapanku dalam jarak 2 meter ke
depan. Aku menoleh sebentar. Diantara celah kepala-kepala yang
rawa-riwi melempar tawa dan ikan. Pandira tersenyum. Sembunyi-sembunyi.
“Kenapa harus pura-pura gak kenal segala sih ?!”, bisik Annora
menghardik. “Backstreet sih backstreet, tapi gak perlu segitunya.
Ngobrol aja kayak biasa. Toh rekan kerja juga! Gak bakal sampai
ketahuan!! Daripada gini, bisa-bisa rayuan sang Putri Fitri makin
merajalela lho!!”.
Annora bersabda dengan nafsu. Kesal barangkali.
Mungkin juga karena kedengkiannya terhadap Fitri, putri sulung Pak
Hasin.
Sekali lagi aku menoleh. Pandira tersenyum lagi. Pitamku menurunkan
kadar, meski harus kusaksikan Fitri menjatuhkan kepala di pundak
Pandira. Sengaja. Berakting ngantuk dia. Berkali-kali juga Pandira coba
menolaknya.
Bukan hanya kami yang kesal. Seluruh staf kantor tahu benar, gadis
hitam, mungil yang selalu tampak casual dengan beling-beling dan satun
perancang terkini, adalah kekasih Mas Setyo, pria lajang yang sama
suksesnya dengan Pandira.
Peringainya congak-berkacak. Tak sulit
menafsirkan titahnya sebagai hujatan. Namun, putri tetaplah putri.
Berlakulah dia sekehendak hati.
Wanita inilah yang menghambat peri kantukku menabur lelap beberapa
malam terakhir. Twit Pandira –yang kuyakini dengan terpaksa- mulai
penuh dengan mention @Fitrialoka . Memaksa adu canda.
Walhasil, Annora
yang kena imbasnya merasakan teriakku-gemasku-kesalku. Pokoknya
jengah,jengah, jengah…………….
Bulan berpendar, diantara sunyinya malam, setelah menikmati nasi liwet
berkepul asap. Nikmat meninabobokan jemaat kami. Tapi, tidak berlaku
bagiku. Alasannya bukan karena kami harus sekamar dengan Fitri
(Maklumlah losmen di Pulau kecil ini terbatas untuk menampung 150 orang
dari kantor kami). Justru karena segulita ini dia belum kembali. Pukul 2
dini hari. Kupastikan, tempatnya berada kini bersama Pandira.
Kutebas segala bayangan suram. Yakin Pandira orang beriman. Tak kan
berani dia cari mati. Ah, biar kuhantam saja guling sepenuh hati.
Bukkbukk. "aaauuuw..." Annora teriak, kepalanya tergebuk guling yang sudah koyak kubanting. Bunyi HPnya ikut nyaring. Dia bangun dan
duduk seketika.
“Kenapa Pet?!”, bertanya dengan mata terkatup membaca sms di HPnya.
Diam. Semenit saja. Annora terlonjak.
“Fitri belum balik? Sejak pergi
sama Mas Pandira tadi….!!!”
Lengan Annora menekan pundakku keras. Mendengus dia. Dirasuki roh
motivator sedunia; Anthony Robbins atau Mario Teguh seolah bersatu
dalam raganya.
Berdaulatlah ia, “ Petra, kamu ini Petir! Tunjukkan kilatanmu seperti biasanya. Ayo!!”
Annora menarikku melalui lorong lorong temaram. Dinding kayu agak usang
berdecit karena resonansi derap langkah kami. Udara dingin menembus
pori-pori. Kami berjalan cepat menuju losmen para pria.
Sekilas, ekor
mataku menatap ke kejauhan, Jembatan Cinta Pulau Tidung murung
melengkung. Mirip bentuk bibir yang bersedih.
Di depan teras, rupanya mereka berduaan.
Pandira tampak ogah-ogahan
menjawab pertanyaan Fitri tentang karya yang sedang dibuatnya. Serutan
serat kayu berserak di kaki-kaki mereka. Rupanya Fitri beralasan
belajar mengukir, demi malam indah bersama Pandira. Patung buatannya
tak lebih sekedar bentuk hati berukir. Keduanya kaget melihat dua gadis
berpiyama datang memburu.
“Petra, Annora, ngapain kesini?!”. Fitri mengulum senyum kesal.
“Fit, Bu Hasin cari kamu daritadi. Tolong kembali ke kamar!”, Annora memulai.
“Yaelah, bilang aja aku lagi sama mas Pandira. Udah sana!!” , titah menjengkelkan.
Aku maju “Fitri, ini acara kantor. Kita tidak mau karyawan berprasangka
buruk. Kalau ada apa-apa, ini tanggung jawab kami sebagai panitia
acara. Tolong mengerti!! Maaf Pak Pandira, silahkan kembali ke kamar
anda juga!”. Kilatku menyambar mereka.
Fitri tak berkutik. Dia
teringsut pergi dengan jengkel. Dia paham benar, kilatanku sudah
terkenal seantero kantor. Bahkan ayahnya sendiri bisa kalah jika aku
sudah menampangkan wajah ketegasan-egoisku.
“Aduh mas Pandira, apa gak bisa tegas sedikit?! Jangan mainin perasaan
temanku gitu dong!”, celetuk Annora tiba-tiba. Tamatlah riwayatku.
Dasar mulut kesumat.
Annora menyerahkan sebundel kertas. “Petra, tolong ke kamar Anwar dulu
antar laporan ini ya, penting! Fitri biar aku yang antar pulang”
muncul lagi kegilaan Annora.
Sambil lalu dia lari menyusul fitri yang
pasti sudah bersumpah serapah dalam perjalanannya. Sebundel yang
diberikannya tak lebih sekedar jadwal acara besok. Tak ada yang
penting! Sial, mana mungkin Pandira juga percaya , tengah malam begini,
saat liburan, ada karyawan minta data laporan penting. Ulahnya kali ini
membuatku bisu di hadapan Pandira. Dia masih berdiri di depan teras.
Melihatku kebingungan.
“Perlu saya panggilkan mas Anwarnya, uhmm…. Maaf siapa tadi namanya?”
“oh.. Petra”
“Oh iya, Petra. Mau dipanggilkan mas Anwarnya di dalam?”
“Gak usah, biar saya sendiri ke dalam Pak. Uhm, maaf ya Pak dengan kejadian barusan.”
“Saya yang harus berterima kasih. Dari tadi saya udah ngantuk. Kalau
bukan putrinya pak Hasin sudah saya tinggal”. Dia tersenyum.
“euh,
tapi, maksud perkataan teman kamu yang tadi apa ya? “
Kukira dia lupa dengan sesumbar Annora. Wajahku mengkerut, pura-pura
tidak mengerti, lantas angkat bahu.
Kubuang muka lagi kearah Jembatan
Cinta. Lengkungannya tidak lagi suram. Mungkin karena ada bulan terang
sekarang di atasnya
Mana mungkin kujelaskan pada mas Pandira kalau Annora
mengira dirinya adalah pacarku. Mana mungkin kujelaskan bagaimana aku
membohongi Annora tentang statusku dan menjadikan Mas Pandira tokoh utama dalam
dongeng Petra.
Ya, semua adalah kebohongan, Annora. Meski kurasa setengah dongeng yang
kuceritakan adalah nyata. Seperti saat tidak malam mingguan, dan
kubilang Pandira sedang ke Surabaya atau Belanda, itu memang nyata,
sesuai dengan twit Pandira dalam dunia mayanya. Alat sadapku selama ini.
Termasuk kalau Pandira bercurah keluh tentang penatnya, tentang
sakitnya, dan apapun juga, yang kukisahkan kembali pada Annora, memang
itu tulisan yang tertera pada situs belambang burung biru itu.
Facebook juga memberiku banyak referensi untuk dongeng percintaanku.
Perkara bagaimana aku mengenal keluarganya, ponakannya, kakak-kakaknya,
termasuk kucingnya yang mati, kutemukan semua info itu dalam comment
dan foto-foto di akunnya. Referensi lainnya adalah blog penuh curhatan
Pandira. Detektif handal kan aku ini??! Ya!! Dan tak mungkin dongeng
fiktif sepanjang itu kujelaskan pada Pandira.
Pandira masih berdiri disana. Melihatku menatap Jembatan Cinta Pulau Tidung.
“Rumornya, setiap orang yang habis melewati Jembatan Cinta itu, bakal dapat jodoh sepulang dari sini, percaya gak??”
Maka kami menatap lagi Jembatan Cinta. Kurasakan angin lembab mendesau
pelan. Aku lega. Akhirnya setelah sekian tahun, aku bisa ngobrol cukup
lama dengan Pandira. Dan tidak tentang pembayaran!!! Dengan begitu aku
siap dengan tulus bersujud ampunan pada sahabatku Annora.
Malam ini,
saatnya juga aku melepas Pandira dalam imagie, dalam kisahku. Entah
karena sedikit aku berharap tokoh utamanya akan berada dalam kisah
nyata Petra atau tidak sama sekali.
Laut Tidung bening. Warna biru makin kelabu, namun tetap bening. Udang
dan penghuni laut lain berenang dalam hening. Terumbu karang berada
dalam etalase air murni, cekas bagi siapapun yang melihatnya ketika
berjalan di atas jembatan panjang.
Aku dan Pandira menikmatinya.
Melupakan Anwar yang rupanya benar-benar menanti laporan penting yang
terselip diantara bundelan jadwal dalam genggamanku.
Lumina Diass
jakarta, 4 juni 2011
memorabilia with pacar imaji, sang sutradara muda