239435587 ROMANSA NEGRI AWAN ~ lumipedia

ROMANSA NEGRI AWAN


Untuk ke-lima kali, pundak sopir di tepuknya. Dengan demikian, nafas panjang-menekan saling berbalasan antara sopir dan Inor. Hampir 15 menit angkot yang kami naiki memakukan diri. Menunggu Tuhan mengisi tangki-tangki rezeki bagi sang sopir. Inor paham betul. Tapi jika didalamnya sudah berjejal segala bebauan dan orang-orang dipadatkan bagai gundu dalam botol, namanya keterlaluan.
 
“Nunggu 1 orang lagi neng”.
Inor naik pitam. Hangat mentari sudah sesuam kuku, tertanda hampir jam 7. Dan ini bisa merusak intensi proyek Negri Awan yang di tekuninya 5 bulan terakhir. Yakni proyek pencarian makna integritas dengan mencicipi kemiskinan, tentang pengabdian layaknya Bunda Teressa, Lady Diana, atau seperti Elleanor Roosevelt (ibu negara pujaan mamaknya) sesuai namanya, Elleanor Prasetyo. Entah kenapa dinamakan proyek Negri Awan. Barangkali karena awan begitu bebas, menjulang tinggi dan tampak berderajat dengan kehampaannya : seperti kemiskinan.
Kali ke-enam; tepukan keras mendarat tepat di belakang kursi kemudi, maka dengan terpaksa angkot beranjak juga.
Inor terbiasa berangkat pukul 6 pagi. Tentu tak ada hubungannya dengan jam kerja sebagai penulis lepas. Yang biasa dikejarnya adalah jam perubahan tarif busway: lewat pukul 7, tarif bukan lagi dua ribu. Sialnya, aku terpaksa ikut kali ini. Huh. Begitulah Inor si gadis elok budi dan rupa ; unkonvensional. Dalam bahasa sederhana, kuterjemahkan aneh, unik, bisa juga udik.
Riangnya menjejak saat memasuki kotak besi yang merajai jalanan dengan grey carpet berbulu debu dan asap. Aku sedikit kikuk, meski sudah dua kali Inor mengajakku menikmati busway.
“Masih sempat kalau mau menyerah, Pak Naryan”.
Kukenal senyum manis cibirannya. Inor  meleos dan duduk jauh dariku di kursi paling pojok. Yeah, tak butuh waktu lama menuju Terminal Kampung Rambutan. Cukup menyaksikan tingkah Inor selama perjalanan saja bisa menyenangkan.
Jika mayoritas penumpang ber-browsing atau bermusik ria dengan handphonenya, Inor memilih sibuk main origami dengan karcis buswaynya; membuat baju kertas, burung, perahu atau apa saja. Inor suka buku ketimbang ipad. Suka perpus ketimbang outlet. Dan dengan seringai lebar   –persis anak TK- selalu berjalan bangga mengibaskan rambut ekor kuda. Terakhir kali dia mengajakku naik busway , seketika itu dia lilitkan sebundel skenario dilapisi syal tebal di perutnya di balik jaket. Orang yang mengiranya hamil, tanpa pikir lagi akan memberinya kursi, yang lantas tanpa pikir juga langsung diberikannya pada sepuh berjenggot putih…….

Sampai di Rambutan, sembari menunggu bus tujuan Sukabumi, sedikit kuungkit perlakuannya pada sopir tadi, yang menurutku sedikit keterlaluan.
“Pak, aku memang sedang belajar hidup sederhana. Tapi bukan berarti harus cari musuh karena uang seribu-dua ribu. Kalau supir tadi nambah 1 orang lagi di ambang pintu, di tikungan tajam akan berubah jadi ambang kematian”, jawabnya bijak.
Berakhir perdebatan, dimulai juga perjalanan kami. Di sukabumi, ada desa kecil dimana Inor mendirikan sekolah terbuka bagi anak-anak desa. Negeri awan pula namanya. Inor mengajar disana sekaligus belajar ketulusan dari mereka. Katanya, hari ini mereka akan melakukan kegiatan Meracik Bumbu Dewata (nama aneh lagi). Untuk itu aku memaksa ikut, selain ada hal lain yang akan kulakukan disana.
******
Saat itu aku galau, proyek FTV kali ini terancam gagal tayang. Sementara hutang sebelumnya belum terbayar. Saat itu Inor sontak duduk di sebelahku, menunjukkan kotak kayu sebesar empedu berhias kolase biji kapri kering berwarna merah kesumba. Kubuka.
“Permen penyemangat”, layaknya Doraemon melantangkan barang ajaibnya, begitulah Inor mengubah suaranya.
“Makan permennya pak, biar semangat!”, rayu Inor. Terbukti. Lidah optimisme membakar cemasku.
Inor rekan kerja yang hebat. Dia menulis banyak untuk film-filmku. Sederhana, tanpa klise. Dikisahkannya, duka anak gundik, atau  tentang renta meraih gelar sarjana tua. Dan  keanehan-keanehan itulah yang membuatku terpikat.
Bulan berikutnya, kami sering memasak bersama. Judul ritualnya Oseng Ceria. Disitu Inor pandai membuat filosofi dari masakannya.
“Butiran jagung kehidupan, bertabur manisnya gula kebahagiaan, asinnya pengalaman berpadu parutan serat kelapa penuh tantangan adalah makna hidup sejati”, begitu filosofinya tentang grontol.
Lain hari, dia bisa membuatkan kostum dari karung dan tutup botol , spontan! Saat sutradara minta pakaian unik untuk tokoh utama. Juga malamnya, dibuatkannya boneka daun singkong demi artis cilik yang merengek minta pulang. Inor. Inor.
Sayang, semua itu meruap jadi kenangan yang tak bisa kulihat lagi sepeninggal ayahnya. Mulailah Inor menjalankan proyek Negri Awan dan sekolahnya. Rumah Inor dipenuhi anak panti. Tak ada lagi Elleanor glamour berbalut gaun memikat. Riasan di wajahnya hanya senyum –dan sungguh bagiku itu lebih elok daripada rubby yang menghiasinya dulu- Inor mengabdikasi dalam kubangan lumpur sambil lantang mengajar “Ini Ibu Budi” dan seterusnya.
Kepindahannya pun membuatku tercekat rindu. Meski tiap akhir pekan Inor datang; mengajakku mencari buku, membeli barang bekas namun bermutu tuk anak didiknya. Aku juga sering dibuat cemburu saat tahu dia merajuk banyak pria ahli melukis, basket, bermusik untuk datang mengajar sesekali. Inor. Inor.
*******
Tanah lembap, habis diludahi awan. Kanan kiri ada hijau berpucuk kuning menggelarkan diri. Anginnya bau terasi. Inor memapahku.
Di antara beriak danau, sebuah dangau bambu tampak ramai. Disitulah anak-anak Negri Awan berserak disana-sini, kemudian riang menyambut kami.
Rupanya Meracik Bumbu Dewata , hanyalah acara masak di alam terbuka. Lauknya hasil si Buyung berkecipak-kecipuk dengan sampan. Dedaunan hijau adalah petikan murid-murid perempuan, termasuk beberapa umbi hasil curian dari kebun juragan terkikir sekampung.
Tujuh meter ke depan, kulihat bangunan warna-warni, didalamnya ada beberapa kursi dan papan dari potongan kayu tanpa amplas,  teduh atapnya bersarung sabut, sebuah kelas.
“Dulu itu kandang sapi. Sekarang namanya Olympus”, bangga Inor.
Kubayangkan Zeus akan memberinya awan emas dan meminangnya kalau tahu ini. Hahaha.
Aku mendekat! Tepat di samping Inor yang sibuk mengadon surabi. Secuil jari mungil penuh adonan setengah matang disodorkan ke mulut seorang Naryan.
“Mau coba, pak?”. Polos. Kulumat penuh rasa meski Inor tak merasa.
“Seperti surabi dengan bagian atas dan keraknya, begitu pula manusia dengan baik buruknya. Maka jadilah seperti surabi, yang mengendapkan keburukan jauh di bawah dan dipenuhi putih kebaikan yang lembut”. Kusemai memori lama.
“Filosofi Surabi. Masih ingat?”
“Tak ada kata-katamu yang kulupa. Satu pun!”, tegasku.
Inor senyum tipis. Kembali asyik mengadon-cetak surabi. Menaburi pisang, mete, coklat, keju dan renda-renda mimpi. Surabi itu adalah bayam bagi popeye, adalah telur tuk Ade Ray, adalah madu bagi anak-anak Negri Awan. Ialah racun bagi Naryan.
“Carilah wanita yang baik, pak”, sarannya.
“Kau mengorbankanku demi sebuah pengorbanan”
“Ini bukan pengorbanan, pak!”
Yah, aku tahu! Menurut Inor pengorbanan hanyalah melahirkan permintaan yang lebih besar. Dia tidak melakukannya disini. Disini dia mencari ketulusan. Sesuatu yang hampir dicampakannya. Di masa lampau, waktunya habis menjaring mimpi dan harta; lantas melupakan sahabatnya yang tulus mengajaknya tertawa; mamak bapaknya yang tulus mengkhawatirkannya. Dengan begitu, kini Inor mengorbankan harta untuk mereka.
“Ada dua hal dimana kau bisa melihat ketulusan; kemiskinan dan anak-anak”, jelasnya dulu.
Inor beranjak, “Alat beli Cinta sejati adalah ketulusan. Aku belum punya. Jadi biar kupelajari dulu itu sebelum kau memberiku cinta, pak”. Dia memang Filsuf sejati.
Inor meninggalkanku menghampiri anak-anak Negri Awan. Tampak ia memasak penuh tawa. Sembari bolak-balik mengajar bocah yang tak sabar memainkan tuts piano. Sayang, jari tangannya kadung tercelup-penuh oleh adonan. Tak bisa diapa-apakan! Termasuk jika kusematkan cincin pernikahan.
Aroma rerempah dan kerat daging ikan saling mengikat janji, menawarkan angin menabur lapar di tiap sudut Negri Awan. Pun pada lubang hidung si perut-perut keroncongan. TULUS angin berhembus………..

Jakarta, 22 Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar