Untuk
ke-lima kali, pundak sopir di tepuknya. Dengan demikian, nafas panjang-menekan
saling berbalasan antara sopir dan Inor. Hampir 15 menit angkot yang kami naiki
memakukan diri. Menunggu Tuhan mengisi tangki-tangki rezeki bagi sang sopir.
Inor paham betul. Tapi jika didalamnya sudah berjejal segala bebauan dan
orang-orang dipadatkan bagai gundu dalam botol, namanya keterlaluan.
“Nunggu
1 orang lagi neng”.
Inor
naik pitam. Hangat mentari sudah sesuam kuku, tertanda hampir jam 7. Dan ini
bisa merusak intensi proyek Negri Awan yang di tekuninya 5 bulan terakhir.
Yakni proyek pencarian makna integritas dengan mencicipi kemiskinan, tentang
pengabdian layaknya Bunda Teressa, Lady Diana, atau seperti Elleanor Roosevelt
(ibu negara pujaan mamaknya) sesuai namanya, Elleanor Prasetyo. Entah kenapa
dinamakan proyek Negri Awan. Barangkali karena awan begitu bebas, menjulang
tinggi dan tampak berderajat dengan kehampaannya : seperti kemiskinan.
Kali
ke-enam; tepukan keras mendarat tepat di belakang kursi kemudi, maka dengan
terpaksa angkot beranjak juga.
Inor
terbiasa berangkat pukul 6 pagi. Tentu tak ada hubungannya dengan jam kerja
sebagai penulis lepas. Yang biasa dikejarnya adalah jam perubahan tarif busway:
lewat pukul 7, tarif bukan lagi dua ribu. Sialnya, aku terpaksa ikut kali ini. Huh.
Begitulah Inor si gadis elok budi dan rupa ; unkonvensional. Dalam bahasa
sederhana, kuterjemahkan aneh, unik, bisa juga udik.
Riangnya
menjejak saat memasuki kotak besi yang merajai jalanan dengan grey carpet
berbulu debu dan asap. Aku sedikit kikuk, meski sudah dua kali Inor mengajakku
menikmati busway.
“Masih
sempat kalau mau menyerah, Pak Naryan”.
Kukenal
senyum manis cibirannya. Inor meleos dan
duduk jauh dariku di kursi paling pojok. Yeah, tak butuh waktu lama menuju
Terminal Kampung Rambutan. Cukup menyaksikan tingkah Inor selama perjalanan
saja bisa menyenangkan.
Jika
mayoritas penumpang ber-browsing atau bermusik ria dengan handphonenya, Inor
memilih sibuk main origami dengan karcis buswaynya; membuat baju kertas,
burung, perahu atau apa saja. Inor suka buku ketimbang ipad. Suka perpus
ketimbang outlet. Dan dengan seringai lebar –persis anak TK- selalu berjalan bangga
mengibaskan rambut ekor kuda. Terakhir kali dia mengajakku naik busway ,
seketika itu dia lilitkan sebundel skenario dilapisi syal tebal di perutnya di
balik jaket. Orang yang mengiranya hamil, tanpa pikir lagi akan memberinya
kursi, yang lantas tanpa pikir juga langsung diberikannya pada sepuh berjenggot
putih…….
Sampai
di Rambutan, sembari menunggu bus tujuan Sukabumi, sedikit kuungkit
perlakuannya pada sopir tadi, yang menurutku sedikit keterlaluan.
“Pak,
aku memang sedang belajar hidup sederhana. Tapi bukan berarti harus cari musuh
karena uang seribu-dua ribu. Kalau supir tadi nambah 1 orang lagi di ambang
pintu, di tikungan tajam akan berubah jadi ambang kematian”, jawabnya bijak.
Berakhir
perdebatan, dimulai juga perjalanan kami. Di sukabumi, ada desa kecil dimana
Inor mendirikan sekolah terbuka bagi anak-anak desa. Negeri awan pula namanya.
Inor mengajar disana sekaligus belajar ketulusan dari mereka. Katanya, hari ini
mereka akan melakukan kegiatan Meracik Bumbu Dewata (nama aneh lagi). Untuk itu
aku memaksa ikut, selain ada hal lain yang akan kulakukan disana.
******
Saat
itu aku galau, proyek FTV kali ini terancam gagal tayang. Sementara hutang
sebelumnya belum terbayar. Saat itu Inor sontak duduk di sebelahku, menunjukkan
kotak kayu sebesar empedu berhias kolase biji kapri kering berwarna merah
kesumba. Kubuka.
“Permen
penyemangat”, layaknya Doraemon melantangkan barang ajaibnya, begitulah Inor
mengubah suaranya.
“Makan
permennya pak, biar semangat!”, rayu Inor. Terbukti. Lidah optimisme membakar
cemasku.
Inor
rekan kerja yang hebat. Dia menulis banyak untuk film-filmku. Sederhana, tanpa
klise. Dikisahkannya, duka anak gundik, atau
tentang renta meraih gelar sarjana tua. Dan keanehan-keanehan itulah yang membuatku
terpikat.
Bulan
berikutnya, kami sering memasak bersama. Judul ritualnya Oseng Ceria. Disitu Inor
pandai membuat filosofi dari masakannya.
“Butiran
jagung kehidupan, bertabur manisnya gula kebahagiaan, asinnya pengalaman
berpadu parutan serat kelapa penuh tantangan adalah makna hidup sejati”, begitu
filosofinya tentang grontol.
Lain
hari, dia bisa membuatkan kostum dari karung dan tutup botol , spontan! Saat
sutradara minta pakaian unik untuk tokoh utama. Juga malamnya, dibuatkannya
boneka daun singkong demi artis cilik yang merengek minta pulang. Inor. Inor.
Sayang,
semua itu meruap jadi kenangan yang tak bisa kulihat lagi sepeninggal ayahnya.
Mulailah Inor menjalankan proyek Negri Awan dan sekolahnya. Rumah Inor dipenuhi
anak panti. Tak ada lagi Elleanor glamour berbalut gaun memikat. Riasan di
wajahnya hanya senyum –dan sungguh bagiku itu lebih elok daripada rubby yang
menghiasinya dulu- Inor mengabdikasi dalam kubangan lumpur sambil lantang
mengajar “Ini Ibu Budi” dan seterusnya.
Kepindahannya
pun membuatku tercekat rindu. Meski tiap akhir pekan Inor datang; mengajakku
mencari buku, membeli barang bekas namun bermutu tuk anak didiknya. Aku juga
sering dibuat cemburu saat tahu dia merajuk banyak pria ahli melukis, basket,
bermusik untuk datang mengajar sesekali. Inor. Inor.
*******
Tanah
lembap, habis diludahi awan. Kanan kiri ada hijau berpucuk kuning menggelarkan
diri. Anginnya bau terasi. Inor memapahku.
Di
antara beriak danau, sebuah dangau bambu tampak ramai. Disitulah anak-anak
Negri Awan berserak disana-sini, kemudian riang menyambut kami.
Rupanya
Meracik Bumbu Dewata , hanyalah acara masak di alam terbuka. Lauknya hasil si
Buyung berkecipak-kecipuk dengan sampan. Dedaunan hijau adalah petikan
murid-murid perempuan, termasuk beberapa umbi hasil curian dari kebun juragan
terkikir sekampung.
Tujuh
meter ke depan, kulihat bangunan warna-warni, didalamnya ada beberapa kursi dan
papan dari potongan kayu tanpa amplas,
teduh atapnya bersarung sabut, sebuah kelas.
“Dulu
itu kandang sapi. Sekarang namanya Olympus”, bangga Inor.
Kubayangkan
Zeus akan memberinya awan emas dan meminangnya kalau tahu ini. Hahaha.
Aku
mendekat! Tepat di samping Inor yang sibuk mengadon surabi. Secuil jari mungil
penuh adonan setengah matang disodorkan ke mulut seorang Naryan.
“Mau
coba, pak?”. Polos. Kulumat penuh rasa meski Inor tak merasa.
“Seperti
surabi dengan bagian atas dan keraknya, begitu pula manusia dengan baik buruknya.
Maka jadilah seperti surabi, yang mengendapkan keburukan jauh di bawah dan
dipenuhi putih kebaikan yang lembut”. Kusemai memori lama.
“Filosofi
Surabi. Masih ingat?”
“Tak
ada kata-katamu yang kulupa. Satu pun!”, tegasku.
Inor
senyum tipis. Kembali asyik mengadon-cetak surabi. Menaburi pisang, mete,
coklat, keju dan renda-renda mimpi. Surabi itu adalah bayam bagi popeye, adalah
telur tuk Ade Ray, adalah madu bagi anak-anak Negri Awan. Ialah racun bagi
Naryan.
“Carilah
wanita yang baik, pak”, sarannya.
“Kau
mengorbankanku demi sebuah pengorbanan”
“Ini
bukan pengorbanan, pak!”
Yah,
aku tahu! Menurut Inor pengorbanan hanyalah melahirkan permintaan yang lebih
besar. Dia tidak melakukannya disini. Disini dia mencari ketulusan. Sesuatu
yang hampir dicampakannya. Di masa lampau, waktunya habis menjaring mimpi dan
harta; lantas melupakan sahabatnya yang tulus mengajaknya tertawa; mamak
bapaknya yang tulus mengkhawatirkannya. Dengan begitu, kini Inor mengorbankan
harta untuk mereka.
“Ada
dua hal dimana kau bisa melihat ketulusan; kemiskinan dan anak-anak”, jelasnya
dulu.
Inor
beranjak, “Alat beli Cinta sejati adalah ketulusan. Aku belum punya. Jadi biar
kupelajari dulu itu sebelum kau memberiku cinta, pak”. Dia memang Filsuf
sejati.
Inor
meninggalkanku menghampiri anak-anak Negri Awan. Tampak ia memasak penuh tawa.
Sembari bolak-balik mengajar bocah yang tak sabar memainkan tuts piano. Sayang,
jari tangannya kadung tercelup-penuh oleh adonan. Tak bisa diapa-apakan!
Termasuk jika kusematkan cincin pernikahan.
Aroma
rerempah dan kerat daging ikan saling mengikat janji, menawarkan angin menabur
lapar di tiap sudut Negri Awan. Pun pada lubang hidung si perut-perut
keroncongan. TULUS angin berhembus………..
Jakarta,
22 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar