Kerlip bintang terpaksa mengalah pada hujan. Persislah aku terkurung
dalam gelas berembun. Kalau cuaca buruk, kamar dengan jendela raksasa
dan atap kaca bukanlah pilihan tepat. Blitz dewata akan jelas terlihat.
Dan aku benci petir!!
Annora membawakan sebuket bunga segar. Tumben. Tahukah dia sohibnya tengah berduka? Salah. Mekaran warna-warni ini memang buatku. Dari Pandira! Ah, ini mengejutkan. Bukan kali pertama . Tiap sabtu malam Annora tahu betul aku selalu mendekap bebawaan saat pulang; sekerat pizza,bermacam sandang atau sekedar coklat almond yang kubilang dari Pandira. Tapi yang ini… bunga??
“Kalian marahan? Sampai suruh orang lain yang antar?”, selidik Annora sembari buang lelah dengan menyeruput teh rosella hangat yang baru saja kubuat. Kecut.
Rupanya mbo ‘Jah -peri rumah kesayangan Pandira; renta pikun,bersuara sopran serak basah, mantan premanita tapi berhati lembut melebihi sutra- yang mengantarnya ke kantor. Beruntung annora –satu-satunya orang yang tahu hubunganku dengan Pandira-dengan mantap mewakiliku terima kiriman tadi siang.
“Mas Pandira nekat juga kirim ke kantor? Mana simboknya tadi salah
sebuat nama lho. Petri katanya.haha. Bisa dikira buat si Putri Fitri
kan?”.
Awalnya aku bukan penggiat dunia maya; Ada Annora si pembaca berita
terkini. Pun setumpuk koran yang diantar tiap pagi. Sayang di koran,
tak ada info ter-update tentang Pandira. Sementara dengan situs ini, dua
per tiga menit, muncul sekelompok kata baru di layar kaca. Apa saja.
Paragraf pertama berkisah Pandira di kedai bersama sahabat lama,
berlanjut dengan sesajiannya, obrolannya, lawakannya, jengahnya, adalah
sadapan nikmat untukku.
Sebelum jadi kekasihnya, aku hanya bertemu 3 kali dengannya.
Tanpa
bersua pula. Dia pengusaha kayu pemasok terbesar perusahaan mebel
tempatku bekerja. Beberapa kali dia ke kantor, disitu kami bertemu.
Selanjutnya, sebagai finance manager , meski bisa bicara via telepon,
tak lebih sekedar konfirmasi barang atau pembayaran. Pandira juga
tipikal pria tanpa banyak cakap dalam keseharian. Mungkin itu juga
alasan kenapa banyak hal dia utarakan di dunia maya ciptaannya. Jadi
hanya ini cara paling ampuh mengenalnya. Berawal dari rasa penasaran,
aku mulai menyelidik, bertambah hari, semakin cupid mengincar perlahan,
lalu dengan pasti menghujamkan panahnya tepat di ulu hati.
Tapi malam ini tulisan-tulisan Pandira membuatku resah. Dan bayangan
tadi siang tak mudah begitu saja dilupakan. Tak mungkin salah.
Aku
kenal betul siluet tubuh keduanya. Pandira digandeng wanita melewati
barisan lalu lalang para pengunjung yang sibuk menenteng belanjaan,
mengejar diskon, atau sekedar ngadem menikmati AC Mall besar.
******
“Aku… sebenarnya udah punya pacar kok!!”
“Siapa Pet? Kapan?!”. Aku gigit bibir. Ragu.
“Ehm.. Mas Pandira?!”, selidiknya lagi. “Sory, aku sering perhatiin kamu. Sempet kepergok juga kalau tiap hari; pagi-siang-malam, kayaknya kamu cuman ngecek akun-akun dunia mayanya mas Pandira. Apa iya???!”, lanjutnya.
Maka seketika setan berbisik, mengajak bibirku berkisah. “Tolong jangan bilang siapa-siapa ya Nor. Takut ketahuan Pak Hasin”
Pak Hasin, bos kami, dulu sama-sama bergiat dengan Pandira sebagai pengrajin kayu. Beliau guru bagi Pandira. Jadi Annora mesti paham, ini berhubungan dengan nasib karirku. Selain, karena Pak Hasin punya kaul menarik Pandira sebagai mantu. Demi keberlangsungan hidup bersama, sementara backstreet adalah jalan terbaik.
Sejak malam itu dan malam seterusnya. Annora dengan mata berbinar tekun
mendengar dongeng cintaku. Semangat pula dia membantuku memilih
kado ultah buat Pandira. Menungguiku sampai malam sepulang kencan
sekedar tuk membukakan pintu. Di hari lain, kami menghabiskan tisu
bersama merutuki ulah bodoh kekasih masing-masing. Bagitu pedulinya
Annora, walau kadang ulah mak comblangnya sesekali membuat jengkel.
********
“Petra!!” , suara orang menggedok pintu. Dokdokkreot.
Kali ini pintu
kamar inapku di losmen. Annora memanggil untuk kumpul makan siang.
Sekantor kami berlibur dua hari di Pulau Tidung. Warna laut sedikit
sendu. Biru pekat tanpa gelombang, rasanya tidak menampakkan
kebahagiaan bagi penglihatnya. Hanya ikan dalam kolam bening raksasa
ini yang berkecipak-kecipuk riang. Bau ikan asap merebak dari kerumunan
manusia-manusia pekerja yang menghirup kebebasan. Riuh mereka
melambai. Menyuruhku dan Annora menyegerakan langkah.
Sebetulnya, mungkin akan lebih baik tak perlulah aku ikut kesini.
Sebab, selain anggota keluarga Pak Hasin, Pandira menjadi salah satu
nama yang tertera dalam tamu undangan. Sungguh, tak ada yang menandingi
kecerianku mengetahuinya ada disini.
Namun, seandainya saja dia datang
sebagai kekasihku yang terakui, hawa disini tak jadi suram. Tapi,
disini, di depan Pak Hasin, dia adalah pria idaman sang putri. Menantu
idola harapannya. Terbukti, dia disini penuh tawa diantara keluarga
besar Sang Raja.
“Sepiring ikan asap terhidang untuk Ketua dan Wakil Panitia tercinta”,
canda beberapa rekan kerja kami menyuguhi makan siang hangat untukku
dan Annora.
Pandira tepat duduk di hadapanku dalam jarak 2 meter ke
depan. Aku menoleh sebentar. Diantara celah kepala-kepala yang
rawa-riwi melempar tawa dan ikan. Pandira tersenyum. Sembunyi-sembunyi.
“Kenapa harus pura-pura gak kenal segala sih ?!”, bisik Annora
menghardik. “Backstreet sih backstreet, tapi gak perlu segitunya.
Ngobrol aja kayak biasa. Toh rekan kerja juga! Gak bakal sampai
ketahuan!! Daripada gini, bisa-bisa rayuan sang Putri Fitri makin
merajalela lho!!”.
Annora bersabda dengan nafsu. Kesal barangkali.
Mungkin juga karena kedengkiannya terhadap Fitri, putri sulung Pak
Hasin.
Sekali lagi aku menoleh. Pandira tersenyum lagi. Pitamku menurunkan
kadar, meski harus kusaksikan Fitri menjatuhkan kepala di pundak
Pandira. Sengaja. Berakting ngantuk dia. Berkali-kali juga Pandira coba
menolaknya.
Bukan hanya kami yang kesal. Seluruh staf kantor tahu benar, gadis
hitam, mungil yang selalu tampak casual dengan beling-beling dan satun
perancang terkini, adalah kekasih Mas Setyo, pria lajang yang sama
suksesnya dengan Pandira.
Peringainya congak-berkacak. Tak sulit
menafsirkan titahnya sebagai hujatan. Namun, putri tetaplah putri.
Berlakulah dia sekehendak hati.
Wanita inilah yang menghambat peri kantukku menabur lelap beberapa
malam terakhir. Twit Pandira –yang kuyakini dengan terpaksa- mulai
penuh dengan mention @Fitrialoka . Memaksa adu canda.
Walhasil, Annora
yang kena imbasnya merasakan teriakku-gemasku-kesalku. Pokoknya
jengah,jengah, jengah…………….
Bulan berpendar, diantara sunyinya malam, setelah menikmati nasi liwet
berkepul asap. Nikmat meninabobokan jemaat kami. Tapi, tidak berlaku
bagiku. Alasannya bukan karena kami harus sekamar dengan Fitri
(Maklumlah losmen di Pulau kecil ini terbatas untuk menampung 150 orang
dari kantor kami). Justru karena segulita ini dia belum kembali. Pukul 2
dini hari. Kupastikan, tempatnya berada kini bersama Pandira.
Kutebas segala bayangan suram. Yakin Pandira orang beriman. Tak kan
berani dia cari mati. Ah, biar kuhantam saja guling sepenuh hati.
Bukkbukk. "aaauuuw..." Annora teriak, kepalanya tergebuk guling yang sudah koyak kubanting. Bunyi HPnya ikut nyaring. Dia bangun dan
duduk seketika.
“Kenapa Pet?!”, bertanya dengan mata terkatup membaca sms di HPnya.
Diam. Semenit saja. Annora terlonjak.
“Fitri belum balik? Sejak pergi
sama Mas Pandira tadi….!!!”
Lengan Annora menekan pundakku keras. Mendengus dia. Dirasuki roh
motivator sedunia; Anthony Robbins atau Mario Teguh seolah bersatu
dalam raganya.
Berdaulatlah ia, “ Petra, kamu ini Petir! Tunjukkan kilatanmu seperti biasanya. Ayo!!”
Annora menarikku melalui lorong lorong temaram. Dinding kayu agak usang
berdecit karena resonansi derap langkah kami. Udara dingin menembus
pori-pori. Kami berjalan cepat menuju losmen para pria.
Sekilas, ekor
mataku menatap ke kejauhan, Jembatan Cinta Pulau Tidung murung
melengkung. Mirip bentuk bibir yang bersedih.
Di depan teras, rupanya mereka berduaan.
Pandira tampak ogah-ogahan
menjawab pertanyaan Fitri tentang karya yang sedang dibuatnya. Serutan
serat kayu berserak di kaki-kaki mereka. Rupanya Fitri beralasan
belajar mengukir, demi malam indah bersama Pandira. Patung buatannya
tak lebih sekedar bentuk hati berukir. Keduanya kaget melihat dua gadis
berpiyama datang memburu.
“Petra, Annora, ngapain kesini?!”. Fitri mengulum senyum kesal.
“Fit, Bu Hasin cari kamu daritadi. Tolong kembali ke kamar!”, Annora memulai.
“Yaelah, bilang aja aku lagi sama mas Pandira. Udah sana!!” , titah menjengkelkan.
Aku maju “Fitri, ini acara kantor. Kita tidak mau karyawan berprasangka
buruk. Kalau ada apa-apa, ini tanggung jawab kami sebagai panitia
acara. Tolong mengerti!! Maaf Pak Pandira, silahkan kembali ke kamar
anda juga!”. Kilatku menyambar mereka.
Fitri tak berkutik. Dia
teringsut pergi dengan jengkel. Dia paham benar, kilatanku sudah
terkenal seantero kantor. Bahkan ayahnya sendiri bisa kalah jika aku
sudah menampangkan wajah ketegasan-egoisku.
“Aduh mas Pandira, apa gak bisa tegas sedikit?! Jangan mainin perasaan
temanku gitu dong!”, celetuk Annora tiba-tiba. Tamatlah riwayatku.
Dasar mulut kesumat.
Annora menyerahkan sebundel kertas. “Petra, tolong ke kamar Anwar dulu
antar laporan ini ya, penting! Fitri biar aku yang antar pulang”
muncul lagi kegilaan Annora.
Sambil lalu dia lari menyusul fitri yang
pasti sudah bersumpah serapah dalam perjalanannya. Sebundel yang
diberikannya tak lebih sekedar jadwal acara besok. Tak ada yang
penting! Sial, mana mungkin Pandira juga percaya , tengah malam begini,
saat liburan, ada karyawan minta data laporan penting. Ulahnya kali ini
membuatku bisu di hadapan Pandira. Dia masih berdiri di depan teras.
Melihatku kebingungan.
“Perlu saya panggilkan mas Anwarnya, uhmm…. Maaf siapa tadi namanya?”
“oh.. Petra”
“Oh iya, Petra. Mau dipanggilkan mas Anwarnya di dalam?”
“Gak usah, biar saya sendiri ke dalam Pak. Uhm, maaf ya Pak dengan kejadian barusan.”
“Saya yang harus berterima kasih. Dari tadi saya udah ngantuk. Kalau
bukan putrinya pak Hasin sudah saya tinggal”. Dia tersenyum.
“euh,
tapi, maksud perkataan teman kamu yang tadi apa ya? “
Kukira dia lupa dengan sesumbar Annora. Wajahku mengkerut, pura-pura
tidak mengerti, lantas angkat bahu.
Kubuang muka lagi kearah Jembatan
Cinta. Lengkungannya tidak lagi suram. Mungkin karena ada bulan terang
sekarang di atasnya
Mana mungkin kujelaskan pada mas Pandira kalau Annora
mengira dirinya adalah pacarku. Mana mungkin kujelaskan bagaimana aku
membohongi Annora tentang statusku dan menjadikan Mas Pandira tokoh utama dalam
dongeng Petra.
Ya, semua adalah kebohongan, Annora. Meski kurasa setengah dongeng yang
kuceritakan adalah nyata. Seperti saat tidak malam mingguan, dan
kubilang Pandira sedang ke Surabaya atau Belanda, itu memang nyata,
sesuai dengan twit Pandira dalam dunia mayanya. Alat sadapku selama ini.
Termasuk kalau Pandira bercurah keluh tentang penatnya, tentang
sakitnya, dan apapun juga, yang kukisahkan kembali pada Annora, memang
itu tulisan yang tertera pada situs belambang burung biru itu.
Facebook juga memberiku banyak referensi untuk dongeng percintaanku.
Perkara bagaimana aku mengenal keluarganya, ponakannya, kakak-kakaknya,
termasuk kucingnya yang mati, kutemukan semua info itu dalam comment
dan foto-foto di akunnya. Referensi lainnya adalah blog penuh curhatan
Pandira. Detektif handal kan aku ini??! Ya!! Dan tak mungkin dongeng
fiktif sepanjang itu kujelaskan pada Pandira.
Pandira masih berdiri disana. Melihatku menatap Jembatan Cinta Pulau Tidung.
“Rumornya, setiap orang yang habis melewati Jembatan Cinta itu, bakal dapat jodoh sepulang dari sini, percaya gak??”
Maka kami menatap lagi Jembatan Cinta. Kurasakan angin lembab mendesau
pelan. Aku lega. Akhirnya setelah sekian tahun, aku bisa ngobrol cukup
lama dengan Pandira. Dan tidak tentang pembayaran!!! Dengan begitu aku
siap dengan tulus bersujud ampunan pada sahabatku Annora.
Malam ini,
saatnya juga aku melepas Pandira dalam imagie, dalam kisahku. Entah
karena sedikit aku berharap tokoh utamanya akan berada dalam kisah
nyata Petra atau tidak sama sekali.
Laut Tidung bening. Warna biru makin kelabu, namun tetap bening. Udang
dan penghuni laut lain berenang dalam hening. Terumbu karang berada
dalam etalase air murni, cekas bagi siapapun yang melihatnya ketika
berjalan di atas jembatan panjang.
Aku dan Pandira menikmatinya.
Melupakan Anwar yang rupanya benar-benar menanti laporan penting yang
terselip diantara bundelan jadwal dalam genggamanku.
Lumina Diass
jakarta, 4 juni 2011
memorabilia with pacar imaji, sang sutradara muda
0 komentar:
Posting Komentar