239435587 DONGENG PETRA ~ lumipedia

DONGENG PETRA




Kerlip bintang terpaksa mengalah pada hujan. Persislah aku terkurung dalam gelas berembun. Kalau cuaca buruk, kamar dengan jendela raksasa dan atap kaca bukanlah pilihan tepat. Blitz dewata akan jelas terlihat. Dan aku benci petir!!

“Petra”, suara orang menggedok pintu. Dokdokkreot.
Annora membawakan sebuket bunga segar. Tumben. Tahukah dia sohibnya tengah berduka? Salah. Mekaran warna-warni ini memang buatku. Dari Pandira! Ah, ini mengejutkan. Bukan kali pertama . Tiap sabtu malam Annora tahu betul aku selalu mendekap bebawaan saat pulang; sekerat pizza,bermacam sandang atau sekedar coklat almond yang kubilang dari Pandira. Tapi yang ini… bunga??

“Kalian marahan? Sampai suruh orang lain yang antar?”, selidik Annora sembari buang lelah dengan menyeruput teh rosella hangat yang baru saja kubuat. Kecut.

Rupanya mbo ‘Jah -peri rumah kesayangan Pandira; renta pikun,bersuara sopran serak basah, mantan premanita tapi berhati lembut melebihi sutra- yang mengantarnya ke kantor. Beruntung annora –satu-satunya orang yang tahu hubunganku dengan Pandira-dengan mantap mewakiliku terima kiriman tadi siang.

“Mas Pandira nekat juga kirim ke kantor? Mana simboknya tadi salah sebuat nama lho. Petri katanya.haha. Bisa dikira buat si Putri Fitri kan?”.

Kutinggalkan Annora menggerutu ke kamar. Zeus belum usai bermain halilintar. Maka, Prosesi malam kumulai; yakni sehadapan dengan laptop ; sampai peri tidur menabur kantuk ; hingga burung bul-bul berkicau memaksa bangun di lain hari. Kusebut prosesi ini ketidakdewasaan yang mengasyikkan, sebab semalaman itu aku berpetualang dalam berbagai situs jejaring sosial berlambang F dan burung biru itu.

Awalnya aku bukan penggiat dunia maya; Ada Annora si pembaca berita terkini. Pun setumpuk koran yang diantar tiap pagi. Sayang di koran, tak ada info ter-update tentang Pandira. Sementara dengan situs ini, dua per tiga menit, muncul sekelompok kata baru di layar kaca. Apa saja. Paragraf pertama berkisah Pandira di kedai bersama sahabat lama, berlanjut dengan sesajiannya, obrolannya, lawakannya, jengahnya, adalah sadapan nikmat untukku.

Bukan berarti aku pencemburu yang hobi stalking penuh curiga, sebab prosesi ini kulakukan jauh sebelum pengakuanku pada Annora bahwa aku kekasih Pandira. Ini sejenis pohon kacang raksasa Jack menuju negri langit. Hanya saja, yang kutemui bukan raksasa, melainkan pria perkasa, Pandira.

Sebelum jadi kekasihnya, aku hanya bertemu 3 kali dengannya.

Tanpa bersua pula. Dia pengusaha kayu pemasok terbesar perusahaan mebel tempatku bekerja. Beberapa kali dia ke kantor, disitu kami bertemu. Selanjutnya, sebagai finance manager , meski bisa bicara via telepon, tak lebih sekedar konfirmasi barang atau pembayaran. Pandira juga tipikal pria tanpa banyak cakap dalam keseharian. Mungkin itu juga alasan kenapa banyak hal dia utarakan di dunia maya ciptaannya. Jadi hanya ini cara paling ampuh mengenalnya. Berawal dari rasa penasaran, aku mulai menyelidik, bertambah hari, semakin cupid mengincar perlahan, lalu dengan pasti menghujamkan panahnya tepat di ulu hati.


Tapi malam ini tulisan-tulisan Pandira membuatku resah. Dan bayangan tadi siang tak mudah begitu saja dilupakan. Tak mungkin salah.

Aku kenal betul siluet tubuh keduanya. Pandira digandeng wanita melewati barisan lalu lalang para pengunjung yang sibuk menenteng belanjaan, mengejar diskon, atau sekedar ngadem menikmati AC Mall besar.

Lukisan kenyataan sebenarnya terpampang jelas dalam pengetahuanku. Tapi aku ingkari. Lantas menghibur diri. Semua akan baik-baik saja. Esok atau hari-hari ke depan.
                                ******


“Aku… sebenarnya udah punya pacar kok!!”
Teh rosella disemburatkan begitu saja. Annora tersedak. Malam ini tak ada alasan lagi dia memaksaku ikut kencan buta.
“Siapa Pet? Kapan?!”. Aku gigit bibir. Ragu.
“Ehm.. Mas Pandira?!”, selidiknya lagi. “Sory, aku sering perhatiin kamu. Sempet kepergok juga kalau tiap hari; pagi-siang-malam, kayaknya kamu cuman ngecek akun-akun dunia mayanya mas Pandira. Apa iya???!”, lanjutnya.


Maka seketika setan berbisik, mengajak bibirku berkisah. “Tolong jangan bilang siapa-siapa ya Nor. Takut ketahuan Pak Hasin”

Pak Hasin, bos kami, dulu sama-sama bergiat dengan Pandira sebagai pengrajin kayu. Beliau guru bagi Pandira. Jadi Annora mesti paham, ini berhubungan dengan nasib karirku. Selain, karena Pak Hasin punya kaul menarik Pandira sebagai mantu. Demi keberlangsungan hidup bersama, sementara backstreet adalah jalan terbaik.


Sejak malam itu dan malam seterusnya. Annora dengan mata berbinar tekun mendengar dongeng cintaku. Semangat pula dia membantuku memilih kado ultah buat Pandira. Menungguiku sampai malam sepulang kencan sekedar tuk membukakan pintu. Di hari lain, kami menghabiskan tisu bersama merutuki ulah bodoh kekasih masing-masing. Bagitu pedulinya Annora, walau kadang ulah mak comblangnya sesekali membuat jengkel.

                            ********

“Petra!!” , suara orang menggedok pintu. Dokdokkreot.

Kali ini pintu kamar inapku di losmen. Annora memanggil untuk kumpul makan siang. Sekantor kami berlibur dua hari di Pulau Tidung. Warna laut sedikit sendu. Biru pekat tanpa gelombang, rasanya tidak menampakkan kebahagiaan bagi penglihatnya. Hanya ikan dalam kolam bening raksasa ini yang berkecipak-kecipuk riang. Bau ikan asap merebak dari kerumunan manusia-manusia pekerja yang menghirup kebebasan. Riuh mereka melambai. Menyuruhku dan Annora menyegerakan langkah.

Sebetulnya, mungkin akan lebih baik tak perlulah aku ikut kesini. Sebab, selain anggota keluarga Pak Hasin, Pandira menjadi salah satu nama yang tertera dalam tamu undangan. Sungguh, tak ada yang menandingi kecerianku mengetahuinya ada disini.

Namun, seandainya saja dia datang sebagai kekasihku yang terakui, hawa disini tak jadi suram. Tapi, disini, di depan Pak Hasin, dia adalah pria idaman sang putri. Menantu idola harapannya. Terbukti, dia disini penuh tawa diantara keluarga besar Sang Raja.
“Sepiring ikan asap terhidang untuk Ketua dan Wakil Panitia tercinta”, canda beberapa rekan kerja kami menyuguhi makan siang hangat untukku dan Annora.

Pandira tepat duduk di hadapanku dalam jarak 2 meter ke depan. Aku menoleh sebentar. Diantara celah kepala-kepala yang rawa-riwi melempar tawa dan ikan. Pandira tersenyum. Sembunyi-sembunyi.

“Kenapa harus pura-pura gak kenal segala sih ?!”, bisik Annora menghardik. “Backstreet sih backstreet, tapi gak perlu segitunya. Ngobrol aja kayak biasa. Toh rekan kerja juga! Gak bakal sampai ketahuan!! Daripada gini, bisa-bisa rayuan sang Putri Fitri makin merajalela lho!!”.

Annora bersabda dengan nafsu. Kesal barangkali. Mungkin juga karena kedengkiannya terhadap Fitri, putri sulung Pak Hasin.

Sekali lagi aku menoleh. Pandira tersenyum lagi. Pitamku menurunkan kadar, meski harus kusaksikan Fitri menjatuhkan kepala di pundak Pandira. Sengaja. Berakting ngantuk dia. Berkali-kali juga Pandira coba menolaknya.

Annora meremas tanganku. Nyaring nafasnya memburu. “Tuh kan , pet!!”
Bukan hanya kami yang kesal. Seluruh staf kantor tahu benar, gadis hitam, mungil yang selalu tampak casual dengan beling-beling dan satun perancang terkini, adalah kekasih Mas Setyo, pria lajang yang sama suksesnya dengan Pandira.

Peringainya congak-berkacak. Tak sulit menafsirkan titahnya sebagai hujatan. Namun, putri tetaplah putri. Berlakulah dia sekehendak hati.

Wanita inilah yang menghambat peri kantukku menabur lelap beberapa malam terakhir. Twit Pandira –yang kuyakini dengan terpaksa- mulai penuh dengan mention @Fitrialoka . Memaksa adu canda.

Walhasil, Annora yang kena imbasnya merasakan teriakku-gemasku-kesalku. Pokoknya jengah,jengah, jengah…………….

Bulan berpendar, diantara sunyinya malam, setelah menikmati nasi liwet berkepul asap. Nikmat meninabobokan jemaat kami. Tapi, tidak berlaku bagiku. Alasannya bukan karena kami harus sekamar dengan Fitri (Maklumlah losmen di Pulau kecil ini terbatas untuk menampung 150 orang dari kantor kami). Justru karena segulita ini dia belum kembali. Pukul 2 dini hari. Kupastikan, tempatnya berada kini bersama Pandira.

Kutebas segala bayangan suram. Yakin Pandira orang beriman. Tak kan berani dia cari mati. Ah, biar kuhantam saja guling sepenuh hati. Bukkbukk. "aaauuuw..." Annora teriak, kepalanya tergebuk guling yang sudah koyak kubanting. Bunyi HPnya ikut nyaring. Dia bangun dan duduk seketika.

“Kenapa Pet?!”, bertanya dengan mata terkatup membaca sms di HPnya. Diam. Semenit saja. Annora terlonjak.
“Fitri belum balik? Sejak pergi sama Mas Pandira tadi….!!!”

Lengan Annora menekan pundakku keras. Mendengus dia. Dirasuki roh motivator sedunia; Anthony Robbins atau Mario Teguh seolah bersatu dalam raganya.

Berdaulatlah ia, “ Petra, kamu ini Petir! Tunjukkan kilatanmu seperti biasanya. Ayo!!”

Annora menarikku melalui lorong lorong temaram. Dinding kayu agak usang berdecit karena resonansi derap langkah kami. Udara dingin menembus pori-pori. Kami berjalan cepat menuju losmen para pria.

Sekilas, ekor mataku menatap ke kejauhan, Jembatan Cinta Pulau Tidung murung melengkung. Mirip bentuk bibir yang bersedih.

Di depan teras, rupanya mereka berduaan.

Pandira tampak ogah-ogahan menjawab pertanyaan Fitri tentang karya yang sedang dibuatnya. Serutan serat kayu berserak di kaki-kaki mereka. Rupanya Fitri beralasan belajar mengukir, demi malam indah bersama Pandira. Patung buatannya tak lebih sekedar bentuk hati berukir. Keduanya kaget melihat dua gadis berpiyama datang memburu.

“Petra, Annora, ngapain kesini?!”. Fitri mengulum senyum kesal.

“Fit, Bu Hasin cari kamu daritadi. Tolong kembali ke kamar!”, Annora memulai.

“Yaelah, bilang aja aku lagi sama mas Pandira. Udah sana!!” , titah menjengkelkan.

Aku maju “Fitri, ini acara kantor. Kita tidak mau karyawan berprasangka buruk. Kalau ada apa-apa, ini tanggung jawab kami sebagai panitia acara. Tolong mengerti!! Maaf Pak Pandira, silahkan kembali ke kamar anda juga!”. Kilatku menyambar mereka.

Fitri tak berkutik. Dia teringsut pergi dengan jengkel. Dia paham benar, kilatanku sudah terkenal seantero kantor. Bahkan ayahnya sendiri bisa kalah jika aku sudah menampangkan wajah ketegasan-egoisku.

“Aduh mas Pandira, apa gak bisa tegas sedikit?! Jangan mainin perasaan temanku gitu dong!”, celetuk Annora tiba-tiba. Tamatlah riwayatku. Dasar mulut kesumat.

Annora menyerahkan sebundel kertas. “Petra, tolong ke kamar Anwar dulu antar laporan ini ya, penting! Fitri biar aku yang antar pulang” muncul lagi kegilaan Annora.

Sambil lalu dia lari menyusul fitri yang pasti sudah bersumpah serapah dalam perjalanannya. Sebundel yang diberikannya tak lebih sekedar jadwal acara besok. Tak ada yang penting! Sial, mana mungkin Pandira juga percaya , tengah malam begini, saat liburan, ada karyawan minta data laporan penting. Ulahnya kali ini membuatku bisu di hadapan Pandira. Dia masih berdiri di depan teras. Melihatku kebingungan.

“Perlu saya panggilkan mas Anwarnya, uhmm…. Maaf siapa tadi namanya?”

“oh.. Petra”

“Oh iya, Petra. Mau dipanggilkan mas Anwarnya di dalam?”

“Gak usah, biar saya sendiri ke dalam Pak. Uhm, maaf ya Pak dengan kejadian barusan.”

“Saya yang harus berterima kasih. Dari tadi saya udah ngantuk. Kalau bukan putrinya pak Hasin sudah saya tinggal”. Dia tersenyum.
“euh, tapi, maksud perkataan teman kamu yang tadi apa ya? “

Kukira dia lupa dengan sesumbar Annora. Wajahku mengkerut, pura-pura tidak mengerti, lantas angkat bahu.

Kubuang muka lagi kearah Jembatan Cinta. Lengkungannya tidak lagi suram. Mungkin karena ada bulan terang sekarang di atasnya

Mana mungkin kujelaskan pada mas Pandira kalau Annora mengira dirinya adalah pacarku. Mana mungkin kujelaskan bagaimana aku membohongi Annora tentang statusku dan menjadikan Mas Pandira tokoh utama dalam dongeng Petra.

Ya, semua adalah kebohongan, Annora. Meski kurasa setengah dongeng yang kuceritakan adalah nyata. Seperti saat tidak malam mingguan, dan kubilang Pandira sedang ke Surabaya atau Belanda, itu memang nyata, sesuai dengan twit Pandira dalam dunia mayanya. Alat sadapku selama ini.

Termasuk kalau Pandira bercurah keluh tentang penatnya, tentang sakitnya, dan apapun juga, yang kukisahkan kembali pada Annora, memang itu tulisan yang tertera pada situs belambang burung biru itu.
Tentang kisahku bertandang ke rumahnya mungkin adalah fiktif, tapi alamat rumahnya valid. Foursquarenya dengan jelas memberikanku alamat Pandira, yang diam-diam, sesekali pernah aku sengaja lewat, hanya sampai depan rumah, dan akhirnya tidak sengaja berkenalan dengan Mbo Jah di warung.

Facebook juga memberiku banyak referensi untuk dongeng percintaanku. Perkara bagaimana aku mengenal keluarganya, ponakannya, kakak-kakaknya, termasuk kucingnya yang mati, kutemukan semua info itu dalam comment dan foto-foto di akunnya. Referensi lainnya adalah blog penuh curhatan Pandira. Detektif handal kan aku ini??! Ya!! Dan tak mungkin dongeng fiktif sepanjang itu kujelaskan pada Pandira.

Pandira masih berdiri disana. Melihatku menatap Jembatan Cinta Pulau Tidung.
“Rumornya, setiap orang yang habis melewati Jembatan Cinta itu, bakal dapat jodoh sepulang dari sini, percaya gak??”

Aku tertawa. “Lihat nanti setelah pulang dari sini”

Maka kami menatap lagi Jembatan Cinta. Kurasakan angin lembab mendesau pelan. Aku lega. Akhirnya setelah sekian tahun, aku bisa ngobrol cukup lama dengan Pandira. Dan tidak tentang pembayaran!!! Dengan begitu aku siap dengan tulus bersujud ampunan pada sahabatku Annora.

Malam ini, saatnya juga aku melepas Pandira dalam imagie, dalam kisahku. Entah karena sedikit aku berharap tokoh utamanya akan berada dalam kisah nyata Petra atau tidak sama sekali.

Laut Tidung bening. Warna biru makin kelabu, namun tetap bening. Udang dan penghuni laut lain berenang dalam hening. Terumbu karang berada dalam etalase air murni, cekas bagi siapapun yang melihatnya ketika berjalan di atas jembatan panjang.

Aku dan Pandira menikmatinya. Melupakan Anwar yang rupanya benar-benar menanti laporan penting yang terselip diantara bundelan jadwal dalam genggamanku.


                                                Lumina Diass
                                                jakarta, 4 juni 2011
                   memorabilia with pacar imaji, sang sutradara muda

0 komentar:

Posting Komentar