239435587 KISAH DI ATAS RANJANG ~ lumipedia

KISAH DI ATAS RANJANG

Cicak mati itu hanyut dalam baskom penadah hujan. Ekornya masih menggeleparkan tari. Kesenengan barangkali, berpikir dia mati terhormat, sebab semut tak bisa menyantap bangkainya. Ya, yaa. Setipe dengan si cicak. Aku terlalu pemilih mencari tempat mati pada kisah ini. Setidaknya tidak di dalam tanah! Meski sehelai kafan –hanya sehelai- mengemas ragaku rapat-rapat. Meski kau beri aku kurungan kayu segi empat, dengan dandanan ningrat. Meski kau sisipkan tokalev atau semasa hidup aku rajin shalat. Mereka akan tetap menggerogotiku disana; lipan, kelabang dan ULAR. Uweeekk.




Mual rasanya kalau membayangkan aku harus jadi pakan musuh besarku. ULAR!!Satu makhluk (yang aku yakini) berhasil menyelinap masuk ke Bahtera Nuh; misi penyelamatan diri illegal, atau apapun itu. Tentu tetap kau setuju, rupa dan jiwa ular itu nista, kan?!


“Pokoknya tidak ada penguburan dalam kisah ini!”

“Saat kau mati betulan, kau juga dikubur, sayang”, gertak lembut Mahfan.

“Saat itu, karena mati betulan, aku tak kan peduli. Tapi aku masih hidup untuk kisah ini. Tak kubiarkan kau perpanjang lagi cerita kematian Nek Fatma. Aku tahu kau, sayang. Kau akan buka tema baru lagi tentang duniaku.... eh maksudku dunia Nek Fatma di pekuburan. Bersama ular-ular!!”, jengah akhirku di hadapan Mahfan.

Lekat mata Mahfan menekan batinku sekian menit, “ Benar-benar istri teladan. Baru selintas aku memikirkannya. Kau sudah tahu. Jadi, tak mau?”

“Kisah ini bisa tak selesai, sayang!”,


Ketimbang berdebat kuusulkan saja sebuah pembalseman. Seperti Lenin atau yang diniatkan Peron pada istrinya Evita: tentang sebuah monumen. Kutunggu. Geleng kepalanya. Gemeletuk gigi kuning Mahfan beradu lagi dengan bunyi decit rotan ranjang kami. Kembali aku terpekur, gigit ujung bantal mencari ilham demi kisah yang ingin dia buat. Kucoba rayapi tiap sel saraf otakku dengan imagie. Uhm,euh,cck,uhm,euh. Buntu!

Kontradiktif dengan hujan di luar sana yang terus mengalir. Suamku pun begitu. Ketombenya semakin berjatuhan tiap kali dia menggaruk kepala dan berpikir. Kulihat remang tulisan “Kisah di Atas Ranjang” di laptop terpantul pada lensa mata Mahfan . Inilah judul karangan panjang suamiku. Berkisah seorang renta yang gigih menaklukkan Izroil di atas ranjang, mengulur waktu kematian demi penantian kedatangan cucunya.


Tak lama –tepat saat matanya semakin bundar bersemangat- kisahnya semakin padat oleh kata. Empat, lima, enam kalimat muncul per dua-tiga menit saat Mahfan beradu dengan keyboardnya. Seolah laptop 10 inc adalah ruang tanpa batas.


Begitulah 100 hari ke belakang, kami menghabiskan malam. Sebagai asisten penulis, aku mengabdi; menjerang kopi, goreng ubi, bermain tangkap nyamuk dengan sepiring ceper berlumur jelantah. Kuulangi. Hanya sebagai asisten. Bukan istri!! Tahta itu raib begitu saja sejak Mahfan berhasil membunuh birahi ke-istrianku , telak! di malam yang sama saat penjelmaanku sebagai nek Fatma (tokoh yang diadaptasi sesuai nama dan karakterku) dimulai.

Kini, sementara Mahfan tengah asyik merangkai scrabble dengan 27 alfabetnya, mari kita abaikan sejenak. Biar kusingkap kisah awal terlahirnya kisah di atas ranjang.


                                                                    ********

Setelah 9 hari men-toyib-kan diri, akhirnya Mahfan pulang. Herannya, begitu penuh cita, lain saat kepergiannya, murung tak berselera. Dikecupnya kerut wajahku, menekan tiap lekuk. Kupikir dia merindu. Sayang, bisikannya mewartakan aku salah.


“Aku dipecat, sayang. Jangan cemas. Aku masih bisa menghidupimu dan anak kita. Tapi aku ingin menulis!”, bisiknya tegas.


Mahfan seorang angkatan. Dia benci khayal mendayu-dayu. Pun dongeng indahnya mimpi, atau lezatnya rumah kue. Pernah suatu kali aku mengajaknya berkhayal, tentang batu ali biru miliknya adalah saphire adalah serupa cincin lady diana, pasal dia menampik, lantas menyodorkan 30 amplop bulanan masing-masing berisi 50.000. Jatah hidup dari Tuhan untuk kami. Nyata! Atau ketika ludahnya semburat di depan anak kami, menghujatnya karena kebanyakan membaca novel.

“Ngayal tu cuman nambah orang gila di dunia!!”, lantangnya kala itu.


Maka dari itu, aku sangsi, seorang realist ingin jadi penulis. “Apa yang terjadi?”

Mahfan berbisik lagi. Penuh gugup, meronta-sesal. Kali ini bisikannya adalah pancanaka Bima –kuku sakti Maha Tajam- menembus ulu hati, mengoyak jantung. Bisikan yang tadi kubilang; membunuh birahi ke-istrianku. Seorang wanita jalang menanamkan bakteri Treponema Pallidum lewat perzinahannya. Kejantanan Mahfan digerogot sifillis!! Sialnya, ia tahu, aku pasti luluh dengan kenelangsaannya. Tak lagi kupikirkan pengkhianatannya. Justru kekhawatiran tertuju pada Rikza, anak kami. Betapa terluka jika kukatakan kenyataan.


Anakku terlalu cerdas untuk sepantarnya. Di umur 6 tahun, planet dengan semua satelitnya bagai dongeng Cinderella baginya. Sahih pula ensiklopedi mini dikuasainya. Kendati dia tak paham tentang sifillis, google akan memaparkan padanya. Otot penyanggaku lemas, nanar kupandangi Mahfan.


“Itulah sayang, kenapa aku ingin menulis. Sama sekali aku tak takut jadi pengangguran, aku bisa jualan. Bahkan aku,, euh.. aku tak takut kehilanganmu. Tapi, oh Fatma. Betapa gilanya aku jika membayangkan Rikza ,menatapku jijik. Meninggalkanku! Tidak fatma. Harus kuhasut dia dengan dongeng kemanusiaan. Mengasihaniku saat kau beberkan kebenaran”, meracaulah Mahfan semalaman.


Entah setan atau Jibril yang menghasutnya. Hiperbolis. Tapi ia benar.

Demikianlah setelahnya, kisah di atas ranjang hadir sebagai ritual bercinta kami di malam hari.


“Di bawah rembulan yang membias panjang, teronggok di atas ranjang berlapis kuningan berkarat. Semakin tampak keriput nek Fatma dipenuhi pesona kecantikan alami. Kendur, melar, namun penuh cinta dan penantian”, kalimat pembuka karangan si penulis


Cukup mengagetkan Mahfan bisa berpujangga. Alkisah, setelah kalimat itu ada, secara ajaib alur-alur bermunculan. Merakit karya dan obsesinya. Sekaligus duka kisahku. Sejak itu, kubiarkan –tuk kesekian kali- dia berselingkuh, bersama Nek Fatma dalam kisah haru.

                                                                              ********
      

Gatal-gatal dan Osteosarcoma di lengan dan kakinya bak meruap, kala foto Fakhri cucunya, menjadi siluet satu-satunya yang tertangkap retina nek Fatma. Direkahkan senyum remaja 17 tahunan semanis mungkin. Setidaknya sebagai obat rindu. Kelopak kusut memberendel mata beningnya, agar tak ada lagi banjir pilu. Di dalam ruang hitam penglihatannya, hanya disitu dia bisa menemukan bayang Fakhir , yang jelas tidak akan pernah muncul di balik kusen jendela kamar tua, selain Izroil.


Ini hari ke-10 Izroil sang malaikat maut berkunjung ke kamarnya. Tentu saja, bukan sebuah jengukan, yang bahkan jarang didapatkan nek Fatma dari manusia. Taruhan, hanya yang betul-betul berhati emas mau melakukannya.Bagaimana tidak? Di kotak dinding 5 x 6 itu, hegemoni raja laba-laba dan ratu lebah begitu kental. Kutebak aroma pesing, tinja, dan campuran muntahan mengawinkan tiap sel mereka sehingga melahirkan keturunan bebauan paling durjana. Namun bukan ini alasan Izroil urung membawanya ke surga sepuluh hari lalu, sembilan atau delapan hari silam sampai kemarin. Melainkan ada hadiah dari Tuhan akan penantiannya. Toleransi hidup 10 hari, dan hari ini, batas waktunya! Teng, teng, teng. Expired!


“Fakhri ndak bakalan teko’! iki Gusti Alloh wes ndak iso ngenteni meneh”,lirih nek Fatma berbisik pada anak-anak pinggir kali. Tiga-tiganya orang yang kubilang tadi, berhati emas. Sesekali tiap minggu, kepala mereka mengintip lewat kusen jendela, memberi obat harian dari kepala dusun atau roti.


Seperti itulah , 5 tahun nek Fatma menjalani hidupnya bersama kusta-kusta. Terkerangkeng oleh kanker tulangnya di atas ranjang. Fakhri, si perantau sejak 10 tahun silam, cucunya itu, tak mungkin lagi akan pulang. Apa kepincut gadis kota atau ususnya sudah terburai cabikan gigi tajam hiu lapar di laut sana, entahlah! Jangan paksa aku panjang lebar mengurai kisahnya. Intinya, Fakhri tak ada di hari akhir nek Fatma. Beruntung sebagai pengganti, Tuhan mengirimkan pasukan lain.


Orkes sederhana suling dimainkan anak-anak pinggir kali. Isak mereka nyaring, berkolaborasi garukan di pantat kanan kiri. Ini dia orkes sedu, penghantar kematian nek Fatma. Sementara si renta Fatma, di ruang hitam dalam pejamannya, berletup-letup memotivasi Izroil agar cepat mencabut nyawanya. Tampaknya nek Fatma terlalu pedih, sadar atas kesia-siaanya selama ini, bermimpi Fakhri akan memindahkannya dari ranjang jahanam. Terbebas dari tumila, kutu atau ulat yang lahir dari rahim kustanya. Maka dengan kesadaran itu, Kisah di atas ranjang nek Fatma sampai pada titik akhir. Mulai saat ini, kisah nek Fatma berubah dengan judul “Kisah di surga bersama Tuhan”.


                                                                            ********


Mahfan membacakan syahdu, “Itu akhir kisahnya, sayang”

“Suka kan? Tidak ada kuburan dan ular”, didekapnya aku dlam rangkulan hangat.


Berdua kami menatap mesin ajaib. Penglihatanku bergulat dengan gumpalan kata-kata di laptop. Benar, halaman akhir untuk kisah panjang selama 3 bulan ini bisa kulihat juga. Tanpa ular! Mahfan mengecup keningku, lamaaa. Sumringah bibirku, meski tak kan tersuguh kisah berbumbu pagutan nafsu antara adam dan hawa sesuai dengan judul “Ranjang” menurut espektasimu. Kuakui, Kisah itu dulu ada, tapi tidak untuk seterusnya.


Tanpa perintah, aku langsung diam melihat Mahfan meloncat turun dari ranjang. Kegirangan Mahfan di antara lembaran kertas putih yang dimuntahkan printer millennium selanjutnya kerap membuatnya lupa akan kehadiranku. Malah, dia sibuk berkaca, mendeham lalu pergi menuju sebuah kamar paling ujung. Melewati pintu yang bagiku, nantinya adalah gerbang pembatas antara kami.


Di balik pintu, kau akan memasuki sebuah wahana ceria, Intelek dan tersaji mainan dalam segala rupa. Obama, Harry potter, Sherlock holmes adalah tampang penghuni dinding yang ramah. Semua sempurna, kecuali bau sepatu yang mampu menusuk hidung hingga akar bulu paling dalam. Deskripsi yang baik untuk kamar anakku. Rikza. Lelap dia menikmati dengkur di balik selimut abu-abu tua.


Mahfan membangunkan semangat, ditunjukkannya bundelan kertas itu tepat di hidung Rikza. Berselingan antara sepat mata kantuknya, Rikza hadirkan senyum paling berharga bagi Mahfan.


“Dongeng buatan ayah selesai?!”


“Iya nak, siap dengar? ”, Mahfan mulai bercerita. Melontarkan kalimat- kalimat yang aku tahu sebenarnya adalah keluhnya, yang diungkapkan lewat tokoh seorang aku, nek Fatma.


Kerut alis terpampang di wajah anakku. Dua menit kemudian tawanya lebar atau melongo bego berubah-ubah sesuai alur kisah ayahnya. Mahfan, tak berhenti cerita malam itu, meski sudah lewat 20 halaman. Keringatnya meresap dalam lidah, juga membasahi punggung besar yang begitu kukagumi.


Dengan itu, dimulailah Kisah di atas Ranjang baru, tentang seorang ayah yang mati-matian menciptakan kisah untuk didongengkan di atas ranjang bersama anak semata wayangnya. Bagi Mahfan, inilah media terbaik menanamkan filosof hidup pada anaknya. Mendoktrin Rikza pada setiap kebajikan dan tentu; memapah anaknya agar iba akan kisah ini. Agar kelak, saat Mafan teronggok dia atas ranjang persis nek Fatma. Rikza tak seperti Fakhri. Setidaknya Mahfan bisa jadi Ayub abad 20 yang ditemani anak dan istri.


Inilah Kisah di atas Ranjang sesungguhnya ingin kutulis sedari awal, yang membuahkan kisah-kisah lain di atas ranjang. Bukan kisah ‘panas’, kisah yang sering dibuat penulis lain tentang ranjang, dan sialnya, berhasil mengurung pembaca dalam kotak paradigma : ranjang sebagai symbol amoral. Nyatanya, banyak cinta bertaburan di atas ranjang. Dongeng Orangtua untuk anaknya. Pergulatan manja kaka beradik. Curhatan sahabat di atas bantal. Semua bisa dimulai disini.


Redup cahaya mulai membayang pada kantukku di kamar lain. Kupasrahkan tubuhku di ranjang seperti anggur pada cawannya. Mencari penopang bagi kisah piluku. Di kamar ini, aku punya kisah sendiri dengan ranjangku. Kisah istri dengan ranjang sebagai kuburan pernikahan dan birahinya. Sekali lagi, persis seperti bangkai cicak dalam baskom penadah hujan. Aku Fatmawati, si mayat hidup, terjerembap di atas ranjang. Yah, setidaknya aku senang tak ada ular dalam pekuburan ini.



Dalam ruang yang sepi, 22 mei 2011

Lumina Diass

0 komentar:

Posting Komentar